"Teteh..."
Suara lemah diiringi sesenggukan di seberang sana memecahkan kesunyian di kamar tidur saya beberapa hari yang lalu. Siang itu saya baru saja menemani anak-anak saya tidur siang. Ketika baru saja saya ingin terlelap juga, terdengarlah getaran ponsel yang berada tidak jauh dari tempat saya berbaring. Saya angkat dan jawab panggilan tersebut, lalu inilah yang berikutnya saya dengar.
"Aku dimaki-maki di depan orang banyak, Teh. Aku dibilang bego karena ga tau bersopan santun. Aku dibilang berubah, dibilang introvert. Terakhir, aku disuruh ke Prof. Kania (bukan nama sebenarnya), Teh. Aku disuruh periksa dan konsultasi ke beliau."
Seorang teman lama yang sekarang sedang mengambil spesialis di salah satu universitas di Yogyakarta. Baru saja ia memasuki semester dua, namun nampaknya ia mengalami stres yang luar biasa. Saya dengarkan masalahnya. Lama juga ia berbicara, sebagian besar keluh kesah, sebagian lain pertanyaan-pertanyaan yang tentu ia sangat ingin tahu jawabannya.
Dalam pandangan saya, permasalahan yang dia hadapi sebenarnya adalah bukan masalah kuliahnya, tapi pergaulannya. Kalau meminjam istilah yang lebih ilmiah, saya sebut itu sosialisasi. Sekarang coba teman-teman cermati kalimat yang teman saya ucapkan di atas, "Aku dimaki-maki di depan orang banyak, Teh. Aku dibilang bego karena ga tau bersopan santun. Aku dibilang berubah, dibilang introvert. Terakhir, aku disuruh ke Prof. Kania, Teh. Aku disuruh periksa dan konsultasi ke beliau."
Kalau teman-teman sadari, kalimat itu muncul bukan karena teman saya tidak bisa mengikuti kuliahnya kan? Tapi lebih karena masalahnya dengan lingkungan. Disadari atau tidak, kadang kala hal-hal yang menghambat keberhasilan kita adalah hal-hal di luar hal utama. Untuk contoh teman saya ini, yang menghambat kelancaran kuliahnya adalah bukan karena ia tidak bisa mengikuti mata kuliah-mata kuliah di kampusnya, tetapi lebih kepada hal hubungan dengan orang lain.
Apa pentingnya orang lain bagi diri teman saya ini? Tentu sangat penting. Sebagai seorang dokter dan calon dokter spesialis, orang-orang sangat penting bagi dirinya. Nanti, ia akan bertemu dengan banyak orang. Pasien, keluarga pasien, dokter-dokter senior, dan masih banyak lagi orang yang akan ia temui. Orang-orang itu tentu punya karakter yang berbeda-beda bukan? Di sinilah pentingnya kemampuan interpersonal seorang dokter (dalam kasus ini khusus saya bahas tentang dokter). Lalu, apa sih kemampuan interpersonal itu? Kemampuan interpersonal adalah kemampuan seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.
Tentang dirinya yang dikatakan introvert oleh seniornya. Saya tanya teman saya itu, "What's wrong for being introvert?" Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan orang yang introvert. Sama halnya tidak ada yang salah dengan orang yang ekstrovert. Hanya saja, setelah saya gali lebih jauh mengapa seniornya mengatakan dia introvert seolah-olah bahwa introvert itu tidak baik, ternyata satu, kemungkinan besar seniornya tidak ingin ia terlalu kaku dalam menangani pasien. Terlalu terpaku pada penyakitnya tanpa peduli dengan orang di sekitar pasien itu, misalnya keluarganya. Benar toh, pasti keluarga akan butuh penjelasan dari sang dokter. Jika dokter bersikap terbuka, tentu pihak keluarga pun akan lebih merasa tenang dan senang. Jadi, sekali lagi, bukan introvert atau ekstrovert yang salah, tapi maksud sang senior adalah pandai-pandailah berlaku kepada orang lain.
Kemudian tentang rujukan untuk ke Prof. Kania. Prof. Kania adalah dosen saya. Dosen senior di kampus saya, menangani permasalahan-permasalahan klinis. Kalau teman-teman tahu, psikologi memang dibagi-bagi menjadi beberapa sub disiplin ilmu, salah satunya adalah psikologi klinis. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, tidak usah takut datang ke psikolog. Psikolog juga manusia =p
Hmm...begini, 10-15 tahun lalu profesi psikolog memang dianggap sempit ruang lingkupnya. Profesi ini belum populer di kalangan masyarakat Indonesia kala itu. Orang-orang yang datang ke psikolog akan dicap sebagai orang gila. Oh tidak...tidak...sebenarnya bukan itu. Orang-orang yang datang ke psikolog tidak semuanya gila. Teman-teman pun tidak akan menjadi gila karena datang ke psikolog.
Sederhananya, psikolog adalah orang yang mempelajari ilmu perilaku secara mendalam. Untuk mendukung kemampuannya menganalisa perilaku orang-orang, para psikolog menggunakan alat-alat tes psikologi. Sama seperti dokter, alat-alat tes ini membantu psikolog mendapatkan data-data valid yang diperlukan. Jadi, apa yang diucapkan para psikolog sebenarnya ada landasan keilmuannya, bukan semata-mata hasil penerawangan.
Kembali ke persoalan teman saya tadi. Ia dirujuk ke psikolog bukan karena ia 'sakit.' Menurut saya, ia hanya perlu bicara dengan orang yang lebih mengerti akan apa yang terjadi pada dirinya, pada situasi dan kondisi yang melingkupinya saat ini. "Prof. Kania sebagai psikolog pasti akan membantumu menemukan masalahmu. Jadi, ikuti saja sarannya. Percaya deh!" Saya katakan seperti itu kepadanya.
Saya katakan, ia tidak sendiri. Bukan ia satu-satunya orang yang mengalami hal ini (diperlakukan seperti apa yang saya ceritakan di atas). Saya katakan padanya, "Mungkin saja ini cara seniormu menggembleng kamu. Supaya kamu lebih kuat. Sebab, yang akan kamu hadapi nanti bukan hanya satu dua kasus. Yang akan kamu temui bukan hanya satu dua orang. Banyak. Banyak yang akan kamu temui. Kalau karena kerikil kecil saja kamu udah nyerah, kamu ga akan bisa surive. Bukan karena kamu tidak pintar, tapi karena hal-hal seperti ini. Sayang kan? Kamu pasti bisa melalui ini semua."
Ya. Secara umum, senioritas masih banyak berlaku di sistem pendidikan kita. Salah satunya di lingkup pendidikan dokter spesialis ini. Saya tidak tahu bagaimana sistem pendidikan di profesi teman-teman. Apakah sama? Atau berbeda? Yang jelas, dari keseluruhan pembahasan ini, saya ingin menyampaikan dua hal yaitu:
- berpikir positif
- kembangkan kemampuan interpersonal.
Kalau ada nilai lain yang bisa teman-teman tangkap dari ulasan saya ini, alhamdulillah.
Wallahu a'lam.
Suara lemah diiringi sesenggukan di seberang sana memecahkan kesunyian di kamar tidur saya beberapa hari yang lalu. Siang itu saya baru saja menemani anak-anak saya tidur siang. Ketika baru saja saya ingin terlelap juga, terdengarlah getaran ponsel yang berada tidak jauh dari tempat saya berbaring. Saya angkat dan jawab panggilan tersebut, lalu inilah yang berikutnya saya dengar.
"Aku dimaki-maki di depan orang banyak, Teh. Aku dibilang bego karena ga tau bersopan santun. Aku dibilang berubah, dibilang introvert. Terakhir, aku disuruh ke Prof. Kania (bukan nama sebenarnya), Teh. Aku disuruh periksa dan konsultasi ke beliau."
Seorang teman lama yang sekarang sedang mengambil spesialis di salah satu universitas di Yogyakarta. Baru saja ia memasuki semester dua, namun nampaknya ia mengalami stres yang luar biasa. Saya dengarkan masalahnya. Lama juga ia berbicara, sebagian besar keluh kesah, sebagian lain pertanyaan-pertanyaan yang tentu ia sangat ingin tahu jawabannya.
Dalam pandangan saya, permasalahan yang dia hadapi sebenarnya adalah bukan masalah kuliahnya, tapi pergaulannya. Kalau meminjam istilah yang lebih ilmiah, saya sebut itu sosialisasi. Sekarang coba teman-teman cermati kalimat yang teman saya ucapkan di atas, "Aku dimaki-maki di depan orang banyak, Teh. Aku dibilang bego karena ga tau bersopan santun. Aku dibilang berubah, dibilang introvert. Terakhir, aku disuruh ke Prof. Kania, Teh. Aku disuruh periksa dan konsultasi ke beliau."
Kalau teman-teman sadari, kalimat itu muncul bukan karena teman saya tidak bisa mengikuti kuliahnya kan? Tapi lebih karena masalahnya dengan lingkungan. Disadari atau tidak, kadang kala hal-hal yang menghambat keberhasilan kita adalah hal-hal di luar hal utama. Untuk contoh teman saya ini, yang menghambat kelancaran kuliahnya adalah bukan karena ia tidak bisa mengikuti mata kuliah-mata kuliah di kampusnya, tetapi lebih kepada hal hubungan dengan orang lain.
Apa pentingnya orang lain bagi diri teman saya ini? Tentu sangat penting. Sebagai seorang dokter dan calon dokter spesialis, orang-orang sangat penting bagi dirinya. Nanti, ia akan bertemu dengan banyak orang. Pasien, keluarga pasien, dokter-dokter senior, dan masih banyak lagi orang yang akan ia temui. Orang-orang itu tentu punya karakter yang berbeda-beda bukan? Di sinilah pentingnya kemampuan interpersonal seorang dokter (dalam kasus ini khusus saya bahas tentang dokter). Lalu, apa sih kemampuan interpersonal itu? Kemampuan interpersonal adalah kemampuan seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.
Tentang dirinya yang dikatakan introvert oleh seniornya. Saya tanya teman saya itu, "What's wrong for being introvert?" Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan orang yang introvert. Sama halnya tidak ada yang salah dengan orang yang ekstrovert. Hanya saja, setelah saya gali lebih jauh mengapa seniornya mengatakan dia introvert seolah-olah bahwa introvert itu tidak baik, ternyata satu, kemungkinan besar seniornya tidak ingin ia terlalu kaku dalam menangani pasien. Terlalu terpaku pada penyakitnya tanpa peduli dengan orang di sekitar pasien itu, misalnya keluarganya. Benar toh, pasti keluarga akan butuh penjelasan dari sang dokter. Jika dokter bersikap terbuka, tentu pihak keluarga pun akan lebih merasa tenang dan senang. Jadi, sekali lagi, bukan introvert atau ekstrovert yang salah, tapi maksud sang senior adalah pandai-pandailah berlaku kepada orang lain.
Kemudian tentang rujukan untuk ke Prof. Kania. Prof. Kania adalah dosen saya. Dosen senior di kampus saya, menangani permasalahan-permasalahan klinis. Kalau teman-teman tahu, psikologi memang dibagi-bagi menjadi beberapa sub disiplin ilmu, salah satunya adalah psikologi klinis. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, tidak usah takut datang ke psikolog. Psikolog juga manusia =p
Hmm...begini, 10-15 tahun lalu profesi psikolog memang dianggap sempit ruang lingkupnya. Profesi ini belum populer di kalangan masyarakat Indonesia kala itu. Orang-orang yang datang ke psikolog akan dicap sebagai orang gila. Oh tidak...tidak...sebenarnya bukan itu. Orang-orang yang datang ke psikolog tidak semuanya gila. Teman-teman pun tidak akan menjadi gila karena datang ke psikolog.
Sederhananya, psikolog adalah orang yang mempelajari ilmu perilaku secara mendalam. Untuk mendukung kemampuannya menganalisa perilaku orang-orang, para psikolog menggunakan alat-alat tes psikologi. Sama seperti dokter, alat-alat tes ini membantu psikolog mendapatkan data-data valid yang diperlukan. Jadi, apa yang diucapkan para psikolog sebenarnya ada landasan keilmuannya, bukan semata-mata hasil penerawangan.
Kembali ke persoalan teman saya tadi. Ia dirujuk ke psikolog bukan karena ia 'sakit.' Menurut saya, ia hanya perlu bicara dengan orang yang lebih mengerti akan apa yang terjadi pada dirinya, pada situasi dan kondisi yang melingkupinya saat ini. "Prof. Kania sebagai psikolog pasti akan membantumu menemukan masalahmu. Jadi, ikuti saja sarannya. Percaya deh!" Saya katakan seperti itu kepadanya.
Saya katakan, ia tidak sendiri. Bukan ia satu-satunya orang yang mengalami hal ini (diperlakukan seperti apa yang saya ceritakan di atas). Saya katakan padanya, "Mungkin saja ini cara seniormu menggembleng kamu. Supaya kamu lebih kuat. Sebab, yang akan kamu hadapi nanti bukan hanya satu dua kasus. Yang akan kamu temui bukan hanya satu dua orang. Banyak. Banyak yang akan kamu temui. Kalau karena kerikil kecil saja kamu udah nyerah, kamu ga akan bisa surive. Bukan karena kamu tidak pintar, tapi karena hal-hal seperti ini. Sayang kan? Kamu pasti bisa melalui ini semua."
Ya. Secara umum, senioritas masih banyak berlaku di sistem pendidikan kita. Salah satunya di lingkup pendidikan dokter spesialis ini. Saya tidak tahu bagaimana sistem pendidikan di profesi teman-teman. Apakah sama? Atau berbeda? Yang jelas, dari keseluruhan pembahasan ini, saya ingin menyampaikan dua hal yaitu:
- berpikir positif
- kembangkan kemampuan interpersonal.
Kalau ada nilai lain yang bisa teman-teman tangkap dari ulasan saya ini, alhamdulillah.
Wallahu a'lam.
12 comments:
nice share mbak ayune.., ( padahal belum juga baca tp udah komentar, ckckckc ) baca ahh..
Habluminallah wa Habluminannas, pernah dengar sama kata2 ini..
yang artinya perbaiki hubungan kita dengan Allah dan dengan manusia..
hehe, ^^
mendengar cerita kerabat yang sedang mengambil spesialis juga kurang lebih serupa.. penuh perjuangan fisik, mental, dan materi..
hemm kalo saya perlu konsultasi ke psikolog juga nggak nih?
yah,banyak masih beranggapan seperti itu,kalau datang kepsikolog itu pasti sakit jiwa..
Ngomong2 beda psikolog ama pskiatri apa sih?
Meskipun saya ga pernah kuliah tp saya jg sering kena semprot waktu ikut Pramuka saka bhayangkara
Memang kalo ga kuat mental bisa mundur teratur hanya karena makian seperti cerita mbak.
Tp bahasanya ga kaya gt sich,,,,, istilah2 itu br saya denger dr sini lho,,,,, hikz
Jd lebih tahu skrng
kurang paham dari cerita diatas hehehe...maaf lemot nih,,
Jin Kinjeng: akhirnya kamu pertamax juga ya?
Kaoskakiungu: iya, salah satu intinya itu :)
Mbak Hilsya: iya, harus kuat segala2nya ya?
Gaphe: kamu perlu ke konsultan gizi =p
I-one: psikolog adalah orang yang sudah lulus program magister profesi psikologi, menangani kasus2 perilaku tanpa pengobatan medis, lebih ke arah konseling. Psikiater: orang yang sudah lulus spesialis kedokteran jiwa, dalam menangani kasus diiringi juga dengan pengobatan medis. Jadi psikolog itu beda sama psikiater. Psikolog bukan dokter, ga ngasih obat2an.
Tarry: alhamdulillah kita sama2 belajar ya dari blog teman2 :)
Mas Sofyan: gpp, ga usah nemen2 dipelajari, Mas, ga keluar di ujian hehehehee....
paling suka bagian, 'bukan hasil penerawangan' hahahaha...
lucu banget ya kalau ada yang berpikir sedemikian rupa... pastinya psikolog dipikirnya paranormal
aku cukup terbawa oleh setiap tulisan2 mbak, semuanya memiliki karakter yg cukup kuat dan terbilang "rapi" dari segi penuturan. lesson of the story nya juga ngena banget, aku jd makin kagum ama mbak :D
Honeylizious: masih ada lho yg mikir kayak gitu hari gini.
nurlaila: makasih.... bisa aja nih Mbak Laila ;)
Wah...tengkyu sharingnya mba Rif ;)
Post a Comment