Showing posts with label Fiction. Show all posts
Showing posts with label Fiction. Show all posts

Thursday, November 7, 2013

For Those Who Stay in Alas Roban

Hey you!
Yes, you! All of you!
Who are you?
What the hell are you doing here?

I see you all
Standing in the middle of that forest 
In the middle of the night
Without any sounds
Silent

Oh sh*t
Now you are walking into the road
Where I am focusing on my steer
What do you want?
Wanna play with me?
Okay! Let's play!

But wait,
I hear something
Is it you?

Oh no,
It's my wife's voice
Saying hello on his cell

Oh my God, it's not her!
I know it's not her 'cause she's sleeping
Damn!
Is it you? Come on!
Go out and catch me!
I'm not afraid

Your black silhouette
Your scary look
Your mysterious sound
I'm not afraid

Oh gosh! She...
She who always wear her white dress
With her long hair
With her spooky face
Is now flying around my car

I know you, I've seen you before
But I never ask your name
"What's your name, girl?"

You guys...
Let's play now! 
Here, in South Route
Let's have some fun!
Here in Alas Roban


*A Note from Alas Roban, November 2013





Thursday, April 18, 2013

Tiga Kepik Bercerita

Akhirnya mereka bertemu juga, kali ini di Amsterdam, di Bulan Juni 2013. Alessandra (Al), Emitri (Em), dan Rhona (Rho). Sudah lama mereka bertiga merencanakan pertemuan ini, sudah sejak tiga tahun yang lalu. Begitu bahagianya mereka hingga tanpa sadar mereka melupakan lelah dan susah payah yang mereka tempuh selama perjalanan ke kota ini. Okay, waktunya pas, ketika tulip-tulip beraneka warna sempurna menarik perhatian mereka, ketika semilir angin sejuk menyentuh sayap mereka, dan ketika kincir angin berputar menyambut kedatangan mereka. Ketiganya membawa masing-masing tiga cerita berbeda. Mereka pun segera mengatur giliran bercerita yang akhirnya disepakati Em mendapat giliran pertama, setelah itu Rho, dan terakhir Al. Mereka berjanji hanya ada satu cerita di satu hari dan mereka akan memulainya esok pagi.

Keukenhof, 3 Juni 2013

Seperti biasa, Em adalah kepik yang paling tenang pembawaannya di antara mereka bertiga. Ada di antara bunga-bunga tulip di taman bunga terbesar di dunia ini membuat Em merasa nyaman. Bukan saja karena inilah tempat mereka, tetapi juga karena hinggap di salah satu bunga tulip di taman ini adalah impiannya. "Keukenhof, tidak hanya manusia yang ingin pergi ke sini, aku pun ingin," begitu katanya.

Baiklah, kemudian Em memulai ceritanya dengan anggun. Ia mengawalinya dengan menyebutkan cerita-cerita drama televisi yang selama ini mengisi kehidupan manusia. Ia baru saja tahu bahwa ternyata drama itu terkadang benar-benar nyata. Ia bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga yang penuh intrik dan politik. Entah mengapa ia sangat tertarik mengikuti cerita ini. Begitu tertariknya hingga ia memecahkan rekornya sendiri berdiam di satu taman yang sama selama tiga bulan. Benar, di taman keluarga yang penuh intrik ini.

Em tidak pernah menyangka bahwa kehidupan manusia benar-benar penuh intrik dan politik. Begitu kejamnya mereka sampai mereka menjadi gila atau mereka memang gila dan kekejaman hanyalah akibat dari hilangnya akal mereka, ia tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Apakah bukan gila namanya jika seorang ibu berusaha menenggelamkan putrinya sendiri? Apa bukan gila namanya jika seorang ayah menyabotase harta warisan anaknya sendiri? Apa bukan gila namanya jika seorang istri ingin membunuh suaminya sendiri? Ah, sekarang dia pikir dia sendiri yang gila karena mengikuti cerita gila keluarga ini.

Kemudian Em pun melanjutkan ceritanya tentang tipu muslihat setiap orang yang ada di keluarga tersebut. Masing-masing menjadi pelaku kejahatan sekaligus menjadi korban kejahatan-kejahatan itu. Emosi hampir menjadi basi dan ilusi, hanya benar-benar nyata ketika satu kata maaf terucap dari mulut seorang anak yang tadi ditenggelamkan oleh ibunya sendiri. Bagi Em, hanya satu emosi ini yang murni dan tidak terkontaminasi. Terbayang-bayang terus adegan ketika Amanda - anak yang dulu ditenggelamkan ibunya sendiri - menarik lembut lengan ibunya, menangis, dan mengatakan, "Aku memaafkan Ibu." Selebihnya, bagi Em, emosi di keluarga itu hanyalah bagai polesan cat di atas kanvas. Ini membuat Em berpikir, apa semua manusia seperti itu? Penuh dengan kepalsuan dan hanya sedikit kemurnian. 

Lalu mereka bertiga bergantian menanggapi cerita Em. Terbang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lain.

Eindhoven, 4 Juni 2013

Dengan latar belakang kincir angin, mereka bertiga siap mendengarkan cerita kedua, cerita dari Rho. Di sini, pemandangan masih didominasi bunga-bunga. Meski tak seindah Taman Keukenhof, tetap, mereka masih bisa menikmati suasana di sini. Anginnya sejuk, membuat mereka merasa tentram berada di sini. 

Berbeda dengan Em, Rho membawa cerita sains dari kehidupan manusia. Ia bercerita tentang betapa hebatnya manusia dengan segala teknologi digitalnya. Yang terakhir yang sangat menarik minatnya adalah tentang bagaimana suatu teknologi bisa mendeteksi pergerakan bola mata seseorang terhadap suatu objek, mencatat durasinya, dan menemukan polanya. Alat lainnya bisa menentukan tingkat perhatian (attention) seseorang terhadap benda tersebut, mencatat gelombang-gelombang otaknya, dan menjadikan itu semua bermakna bagi dunia lain yaitu dunia marketing. 

Wow, Em dan Al takjub mendengarkan cerita Rho. Walau tanpa alat peraga dan tanpa contoh nyata, Rho berhasil mendeskripsikan dengan sederhana dan jelas kepada kedua temannya itu tentang cara kerja alat-alat tersebut dan aplikasinya dalam kehidupan manusia. Satu-satunya yang tidak dibahas olehnya adalah masalah harga. Heh, tentu saja itu bukan topik yang menarik bagi mereka bertiga. Sejak kapan kepik-kepik tertarik uang? ;) 

Rho sepertinya belum puas membuat temannya terkesima dengan ceritanya, ia menutup gilirannya dengan menceritakan satu teknologi lain yang dia pikir teman-temannya juga perlu tahu, teknologi pendeteksi emosi. "Wow! Selain hebat, ternyata manusia juga benar-benar kejam," begitu ungkap Al. "Manusia menciptakan semua teknologi untuk menelanjangi dirinya sendiri, mengungkap semua aspek kehidupannya, selalu ada alat untuk ini dan itu, hampir tidak ada yang bisa disembunyikan." Al tidak peduli dengan manfaat teknologi-teknologi itu bagi manusia. Heh, benar, dia hanya seekor kepik. Ia hanya berpikir, sepertinya manusia lebih damai ketika jaman Michael Landon di dalam serial "Little House on The Prairie."

Sebagai pecinta sains, sebagai seekor kepik yang skeptis, tentu saja Rho membantah semua ucapan Al. Kemudian ia melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat, hingga timbul pertanyaan di antara mereka, "Apakah dunia kita akan selalu sama seperti ini? Ataukah akan berkembang seperti manusia?" Tiga kepik itu kemudian terbang lagi ke tempat yang lain.

Dam Square, 5 Juni 2013

Di tempat ini banyak kawanan merpati. Muda mudi berpasangan banyak duduk-duduk santai di kawasan ini. Tentu saja, Al memilih tempat ini menyesuaikan dengan topik yang akan diceritakannya, tentang cinta. Sebuah topik klasik yang tidak pernah mati, seberapa pun kita berusaha membunuh topik ini, ia selalu menang dan bisa muncul kembali. Al begitu mengagungkan cinta dan ia berharap menemukan cintanya sebentar lagi.

Meski Al tahu kedua temannya tidak terlalu tertarik dengan topik ini, tapi tetap, Al dengan ceria menceritakan kebahagiaan pasangan-pasangan pengantin yang baru-baru ini ia lihat. Memang, sebelum ke Amsterdam, Al mendatangi beberapa pesta pernikahan manusia. Ia pernah mendatangi pesta pernikahan hewan-hewan peliharaan, tapi tidak semenarik pernikahan manusia, begitu katanya.

Lalu mulailah ia dengan cerita seorang wanita yang baru menikah di usia yang sudah sangat matang dengan seorang pemuda yang usianya terpaut beberapa tahun di bawahnya. Ia kagum dengan wanita ini karena selama ini ia begitu yakin jodohnya akan datang. Bukan hanya kekaguman akan semangat wanita ini saja, Al juga kagum dengan keyakinan wanita ini akan Tuhan. Wanita ini tahu Tuhan menyayanginya dan memberikan hanya yang terbaik baginya.

Merpati-merpati berpasangan membuat iri Al yang terus saja mengalirkan ceritanya tentang pasangan-pasangan manusia yang bercinta. Em dan Rho pun akhirnya terlarut dalam semua cerita cinta Al hingga mereka menangis karena satu tragedi cinta yang Al ceritakan. Kepik pun ternyata bisa menangis, mereka bertiga tidak pernah tahu itu hingga hari ini, hari yang mereka tutup dengan berangkulan. Mereka menutup hari itu dengan hanya hinggap diam di bangku di pinggir jalan memandangi manusia-manusia lalu lalang. Masih ada enam cerita lagi, mereka akan melanjutkannya esok hari.








Tuesday, June 26, 2012

Keira - Sebuah Elegi Kehidupan

BAB 1 - KERTAS PUTIH ITU

Matahari tak lagi gagah, menciut ia kini
Langit tak lagi perkasa, runtuh ia kini
Gunung tak lagi percaya diri, menunduk ia kini
Samudera tak lagi terhampar, terbungkus ia kini
Seperti helai daun kering yang lepas dari dahan
Seperti bayi mungil yang menangis kehausan
Seperti butir-butir pasir yang terbawa air
Aku rapuh

--------------------

Detak suara jarum jam jelas sekali terdengar di telingaku. Lima menit lagi menuju pukul dua dini hari dan aku belum terpejam. Kubuka tirai jendela kamar ini. Kamar yang kini sungguh terasa sempit. Tak lagi lapang ketika dulu diisi dua penghuni. Tak lagi terang, tak lagi menyenangkan. Semuanya berubah sejak kepergiannya dua bulan lalu.
Masih berdiri memandang malam. Kulihat langit di luar pekat sangat, hitam, kelam. Suasana ini membuat semuanya semakin terasa mencekam. Sementara itu, bulan, malam ini ia menunjukkan bentuk sabitnya. Hanya menyisakan sedikit cahaya yang juga sudah hampir tertutup oleh arak-arakan awan. Tidak ada bintang, hanya ada selimut kabut menghampar di langit di atas atap rumahku. Semuanya kelabu, kelam, suram, tidak ada yang indah dari malam ini. Aku tidak suka suasana ini.
Dahan-dahan bergerak mengikuti irama kesunyian. Sesekali mereka bersenggolan. Bersentuhan. Berangkulan. Saling berbisik menceritakan apa yang mereka tahu tentang manusia. Aku seperti mendengar suara mereka, dahan-dahan itu membicarakan aku. Ada yang menyindir dan mencibir, ada yang iba, ada juga yang datar-datar saja. Ah, apa aku sudah gila?
Sepertinya angin di luar sana kencang berhembus. Seiring beratnya napas kehidupan yang kuhembuskan, seiring panasnya napas kehidupan yang pelacur-pelacur hembuskan. Seiring debu jalanan yang beterbangan karenanya. Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu, malam memang sering menunjukkan keangkuhannya pada alam. Lalu manusia, kadang menjadi korban keangkuhan itu atau bahkan sebaliknya, sama angkuhnya seperti sang malam.
Keanu sudah terlelap di kamarnya, tenggelam dalam mimpi indah anak-anak, mimpi yang tidak pernah padam ketika ia dewasa nanti. Mimpi-mimpi akan cita-citanya yang mengesankan. Ya, mengesankan karena aku tidak pernah menyangka ia punya mimpi sebesar itu. Pemikiran-pemikirannya jauh ke depan, melampaui batas logika berpikir anak seusianya. Harapan-harapannya, jauh pula melampaui batas keinginan anak-anak seusianya. Ia berbeda. Keanu berbeda dengan anak-anak lainnya. Lebih jauh, ia sangat istimewa di mataku.
Tapi entah malam ini, apakah mimpinya indah seperti kemarin-kemarin ketika Sang Ksatria, ayahnya tercinta masih ada? Apakah mimpinya masih sama? Mimpi akan petualangannya di luar angkasa, mimpi akan penemuan-penemuannya yang sangat bermanfaat bagi dunia. Entahlah, dua bulan ini, Keanu pun seperti malam tak berbintang. Kelam, suram. Wajahnya kerap muram. Bukan lagi Keanu yang penuh semangat dan keceriaan. Bukan lagi Keanu yang selalu optimistis mencapai impiannya. Kepergian ayahnya menghapus semangat dirinya dan menyapu keceriaan dari wajah manisnya. Sedih aku melihatnya.
Masih berdiri menatap malam, sambil kulipat kedua lenganku ke dada. Dari jendela, kuterawang angkasa. Menyusuri jalan-jalan setapaknya. Singgah di setiap bintang yang kulewati. Kutembus segala cahaya, yang mungkin bisa mengembalikan semua yang pernah ada. Cintaku, keceriaan Keanu, kelapangan kamar ini. Semuanya, semua yang pernah ada dua bulan lalu. Namun, cahaya apa pun sepertinya tak mampu mengembalikan semua itu. Bahkan untuk sekadar menunjukkan jalannya, tak ada yang bisa.
Kutarik napas dalam-dalam, kuhembuskan. Berat sekali aku menerima semua ini. Setelah apa yang sudah kulakukan padanya selama ini? Sembilan tahun hidup bersama, mencintai, menjaganya. Lalu, inikah yang kudapat? Apakah benar-benar ini? Sungguh pantaskah aku mendapatkannya? Siapa yang Maha Adil kini? Adakah Tuhan memang sayang padaku? Menimpakan semua dusta kepadaku? Menimpakan semua cela kepadaku? Adakah selama ini Dia bersamaku? Baru kali ini aku menyalahkan Tuhan. Sungguh, aku tak mau.
Dan meneteslah air mataku. Butir demi butir jatuh membasahi pipiku. Semakin kutahan, semakin deras ia mengalir. Air mata ini, aku tidak pernah mengharapkan ia jatuh karena alasan ini. Akan tetapi, harapan memang tidak selalu sesuai kenyataan. Kemudian di sinilah aku, berdiri di dalam kenyataan. Ketiadaan. Kehampaan. Tidak lagi aku berdiri di dalam harapan. Kosong. Aku tidak lagi memiliki harapan. Tidak. Aku hampa. Aku merasa hampa. Aku bahkan hampir tidak mau mengenal lagi sang harapan.
Tak terhitung sudah butir air yang jatuh membanjiri baju tidurku. Sekarang aku duduk, masih dengan segala kesedihan. Kuseka tumpahan air mata ini dengan tanganku. Kutahan suaraku agar tidak membangunkan Keanu, setidaknya kucoba. Aku lelah. Sangat. Bukan karena jutaan waktu yang telah kulalui bersamanya, bersama cintaku. Bukan karena itu, tapi karena apa yang kualami hari ini. Apa yang kulihat hari ini. Apa yang kudengar hari ini.
Kertas itu masih tergeletak di atas meja riasku. Kertas putih dengan angka-angka dan kata-kata yang tidak kumengerti. Kertas yang sungguh bisa membalikkan semuanya, membalikkan duniaku, membalikkan hidupku, mengubah dunia Keanu. Hanya penjelasan dokter itu, dokter Rita, yang membuatku mengerti apa makna semua yang tertulis di situ. Hanya itu.
Suara dokter Rita masih terngiang-ngiang di telingaku. Kata demi kata masih kuingat. Masih tergambar jelas ekspresi datar nan profesionalnya di benakku. Dia berusaha menjelaskan dengan tegar, tanpa tercampur rasa iba atau seribu tanya. Jujurkah dokter Rita padaku? Apa yang dijelaskannya padaku, benarkah semua itu? Dapatkah kupercaya ia? Tertukarkah kertas itu dengan pasien yang lain? Angka-angka itu, mungkinkah itu semua milik orang lain? Bukan aku.
Mungkinkah ada kesalahan yang bisa membalikkan keadaan ini? Mengembalikan lagi semua seperti sedia kala? Berharap aku tidak pernah melihat kertas itu. Berharap aku tidak pernah membaca angka-angka dan kata-kata dalam kertas itu. Berharap aku tidak pernah mendengarkan penjelasan dokter Rita mengenai hal ini. Berharap seperti itu. Akan tetapi, berharap kadang menyakitkan. Jadi, kali ini aku tidak mau berharap. Ah tidak, aku tidak mau terlalu berharap. Supaya jika memang harapanku tidak menjadi kenyataan, aku tidak terlalu merasa sakit. Tidak, tidak sekali lagi untuk rasa sakit. Cukup dua hal ini saja yang menyakitkanku, kematiannya dan kertas putih itu.
Aku beranjak mendekati meja riasku. Kini, aku duduk bercermin di sini. Menatap wajahku. Tidak seperti biasanya, kulihat wajah yang menyedihkan di situ. Masih menangis aku, meratapi kemalanganku yang tak terkira. Dengan apa yang terjadi, aku merasa akulah orang paling menyedihkan. Demikian sedihnya hingga cermin ini pun menangis. Menangisi aku yang sedang menangis. Tidak pernah ia menatapku seperti itu, menyedihkan. Bahkan cermin pun mengasihani diriku, “Kasihan sekali kau, Keira.”
Kuambil kertas putih itu. Sekali lagi kulihat nama yang tertera di bagian atasnya. Tidak ada yang salah. KEIRA ADAM. Kuperhatikan angka-angkanya. Semakin menjadi tangisku. Hampir pukul setengah empat dini hari. Dan aku masih terjaga. Dalam kegalauan, aku bertanya.

“Gerangan apa yang terjadi, duhai Malam? Tidak cukupkah Kau ambil dia yang selalu kupuja? Dia yang selalu kucintai. Dia yang selalu kuhormati? Dia yang selalu kubanggakan? Pilu karena kehilangannya belum juga hilang dan tidak akan pernah hilang hingga aku terbiasa menjalani kesendirian ini, kesendirian tanpa cinta darinya, kekasihku.

Misteri apa lagi yang hendak kau tunjukkan padaku, Malam? Tidak cukupkah ini? Aku masih terlalu muda untuk ditinggal mati oleh cintaku. Aku belum sekuat itu. Aku masih membutuhkannya di sisiku. Kadang aku berpikir kau jahat, Malam! Mengambilnya ketika ia terlelap di pelukanku. Mengambilnya ketika baru jutaan waktu yang kami lalui? Bukan milyaran tahun. Sungguh tega kau, Malam! Mengapa tidak serta-merta saja kau ambil aku bersamanya? Tidak dengan cara seperti ini seharusnya!

Aku marah padamu, Malam! Teganya kau menjatuhkan ini semua padaku. Belum sembuh luka yang satu, kau torehkan lagi luka yang lain.  Bisa kau jelaskan semua ini padaku, Malam? Tolonglah. Aku tidak sekuat yang kau kira. Aku tidak sebijak yang kau kenal. Aku tidak memiliki semuanya. Aku kecil, Malam. Aku rapuh. Tolonglah aku.”

***

Segera terbit, "Keira - Sebuah Elegi Kehidupan." Boleh pesan dari sekarang, via email ke rifka.nida@gmail.com.

Sunday, April 15, 2012

Cinta dalam Sekantung Teh China



"Oma, ini teh pesanan Oma."

Yup, Oma memang pecinta teh. Itu sebabnya ketika aku pergi ke China pekan lalu, Oma memintaku membawakannya oleh-oleh teh khas sana. Kebetulan, salah satu itenerary rombongan kami adalah Dr. Tea, produsen teh besar di Kota Beijing.


Di Dr. Tea ini kami diberi penjelasan beberapa macam teh yang mereka produksi, khasiat-khasiatnya, dan tak lupa cara memegang cangkir ala orang-orang China. Sambil diberi penjelasan, kami pun dipersilakan untuk mencicipi masing-masing varian teh yang mereka produksi. Berikut ini rangkumannya dalam bahasa Inggris (untung bukan bahasa China ;p ):
1. White Tea
- It can dispel the effects of alcohol and nicotine.
- It also  acts on colds, coughs and sore throats. 
2. Golden Green Tea/ Slimming Tea (wild pu-erh tea)
- It can regulate blood pressure, lower cholesterol and lose weight.
- Fill tea water with honey and it is good for insomnia.
3. Oriental Beauty (The king of Oolong Tea)
- It is good for blood circulation and skin.
- It is good for Anemia and enriches blood.
- Add some brown sugar into tea as it can nourishes the stomach.
- It can soften the blood vessels.
4. Jasmine Tea
- It can drive away summer heat and improve eyesight.
- It can shake off drowsiness and relieve headache.
5. Litchi Tea (Black Tea)
- It is good for digestion.
6. Gin-seng Oolong Tea
- It can help to restores your energy.
- Protect liver and kidney.

Oma minta dibuatkan secangkir teh. Akhirnya, pagi itu, kami saling bercerita. Aku bercerita tentang bagaimana orang-orang China memegang cangkir teh yang kecil itu. Untuk perempuan, cangkir dipegang dengan tiga jari yaitu ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Sedangkan dua jari lainnya, yaitu jari manis dan jari kelingking terbuka (mengarah ke luar). Bagi laki-laki, cara memegang cangkir yang benar (ala orang China) adalah juga dengan tiga jari (ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah), namun dua jari lainnya mengarah ke dalam. Oma mendengarkan ceritaku seolah-olah dia belum tahu tentang hal yang kuceritakan itu.

Setelah selesai mendengarkan ceritaku tentang apa yang kulihat di negeri China sana, Oma pun bercerita tentang bagaimana pertemuannya dengan Opa bermula dari sekantung teh oleh-oleh. Ternyata, Oma dulu bekerja di toko teh di Beijing dan Opa adalah pengunjung yang membeli teh dari toko itu. Pertemuan pertama Opa dengan Oma berlanjut menjadi pertemuan kedua, ketiga, dan kesekian kali. Hingga akhirnya mereka menikah dan menetap di Indonesia. Cinta dalam sekantung teh, itulah cerita Oma. Sambil menyeruput teh yang kuhidangkan, Oma meneruskan cerita tentang kisah cintanya dengan Opa, hingga hari meninggi.

Setelah itu kutinggalkan Oma yang tersenyum mengingat kekasihnya, lalu kutulis catatan ini.

(Jakarta, April 14, 2012).



Saturday, April 14, 2012

Rona Kenangan dari Tembok Cina

Waktunya 45 menit untuk kami semua - rombongan -menaiki satu per satu anak tangga Great Wall of China. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, suhu hari ini cukup bersahabat, 23 derajat celcius disertai angin. Matahari cukup membuat mataku silau menatap sekeliling. Kukeluarkan kacamata hitamku, kukenakan ia untuk melindungi mataku. Ah, tentu saja, melindungi mata. Syal sudah menggantung di leherku, siap menghangatkanku jika nanti di atas sana angin membuatku merasa dingin. Backpack kecil sudah melekat di punggungku. Air minum, jaket, payung, make up, obat-obatan, tissue basah, tissue kering, sarung tangan, dompet dan isinya, mukena. Semua ada di sana, siap menemaniku ke dua menara  terdekat yang kupikir dapat kujangkau. Handphone dan kamera tentu saja kubawa, ada di dalam kantung celanaku.


Untuk menjaga tubuhku tetap hangat, hari itu kukenakan tiga lapis baju. Blue jeans, sepatu kets yang membuatku nyaman menapak batu-batu tangga itu, dan sebelumnya sudah kuolesi pelembab di wajahku, kugunakan juga pelembab bibir, dan lotion di seluruh tubuhku.


Kumulai langkahku bersama beberapa orang teman. Satu persatu mereka meninggalkanku, satu per satu kutinggalkan yang lainnya. Satu persatu kujejaki anak tangga di tempat agung ini. Hela demi hela napas mengiringi pengalaman ini. Semakin tinggi, semakin berat, semakin memikat.

Sesekali napasku tersengal-sengal, membuatku bimbang apakah akan kulanjutkan perjalanan ini atau tidak. Namun menara di atas sana cukup memesonaku sehingga kutetapkan keinginanku untuk menuju puncaknya. 



Jutaan orang datang ke sini. Untuk kali pertama, kedua, atau kali keseribu. Jutaan kenangan pasti melekat di dinding dan batu-batu di sini, menyeruak ke relung hati terbawa semilir angin negeri China, membuncahkan rasa rindu dan syahdu manusia-manusia pendaki. 
 
Di satu titik, kulihat berjajar gembok-gembok cinta. Pasangan-pasangan yang mempercayai hal itu, mereka yakin jika mereka meletakkan sebuah gembok bertuliskan nama mereka dan pasangan mereka, lalu membuang kuncinya, maka cinta mereka akan abadi. Memang, kadang keyakinan seperti ini tak sejalan dengan logika. Tapi itulah dinamika manusia, kita hidup bersama aneka keyakinan dan logika.

 
Sudah separuh perjalanan kutempuh, teman yang berjalan di sisiku tidak lagi sama. Penggambaran sederhana kehidupan, bahwa dalam menjalani hidup ini kita bisa bertemu siapapun. Terkadang kita tidak bisa memilih ingin bertemu siapa, namun sebaliknya, terkadang siapa yang kita temui itu mengubah cerita hidup kita. Dari separuh perjalanan ini bisa kulihat pemandangan di bawahku yang botabene adalah langkah-langkah yang sudah kubuat dan kutinggalkan. Terlihat indah, tenang. Separuh perjalan lagi harus kutempuh, kulanjutkan langkah-langkah kecilku.

Ketinggian ini terlihat dan terasa curam. Sekali waktu kurasa begitu lelah dan ingin berhenti, kembali tanpa pernah berhasil menaiki menara. Namun kemudian, kuarahkan pandanganku ke atas menatap menara itu, dan berlalulah aku menuju puncaknya. 

 

Kembali terhenti, di sini aku bertemu dengan beberapa teman lain. Beberapa di antara mereka sudah lebih dulu sampai dan lainnya tiba bersamaan denganku. Seperti hidup, satu cerita lain bersama orang yang lain. 





Ada saatnya pula kita lelah dan kita memilih beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan. 





Pikiranku terbang bersama angin. Gembok-gembok cinta di bawah sana masih terlihat jelas di benakku, entah mengapa. Tiba-tiba saja sebuah nama muncul mengejutkanku, seolah membangunkanku dari lamunan. Rupanya kelelahan ini membuatku 'terbang' ke masa silam. Tersadar, kukembali berdiri dan mendaki. Hingga sampai di menara pertama dan menara kedua.




 Aku pun menikmati sensasi pengalaman ini. Di menara kedua ini, aku bersama belasan teman berfoto. Sekadar mengabadikan momen berkesan ini. Kuhirup udaranya, kulihat awannya, langitnya, kurasakan sinar mataharinya hangat mengenai kulit wajahku, China dengan pesonanya.

Aku dan beberapa temanku memutuskan turun setelah itu, sisanya melanjutkan perjalanan menuju menara berikutnya. 

Hal ini mengingatkanku bahwa tidak selamanya kita bersama orang-orang yang ada di sekeliling kita saat ini. Bisa jadi kita memang berpisah ke dua arah yang berbeda, kita meninggalkan mereka, atau mereka yang meninggalkan kita.

Ah, perjalanan ini harusnya menjadi satu perjalanan heroik, tapi entah mengapa aku merasakan sedikit roman dalam pengalaman ini. Kembali kuteringat kepada satu nama yang tadi tiba-tiba muncul di benakku.

Meski tetap disertai perasaan ngeri, perjalanan turun tidak terlalu melelahkan. Di sisi kananku seorang teman berbaju kuning, di depanku seorang teman berkaos hitam, kami bertiga segera kembali ke meeting point. Sesekali kami sempatkan berpose di dalam perjalanan turun kami. Hingga seseorang mengejutkanku dengan sapaannya.

"Rona?" 
"Hai," jawabku.

Lalu dalam beberapa menit kami tenggelam dalam sebuah percakapan kenangan. Dan bisikan doa di dalam hati, semoga kami bertemu kembali.

(Beijing, April 2012)


 

Sunday, April 24, 2011

Mereka Memanggiku "Rif"

Rabu pagi, baru saja aku masuk ke ruang kreatif ini, beberapa langkah menuju meja kerjaku, lalu tiba-tiba kudengar seseorang memanggilku. "Rif, sudah dapat belum, konsep untuk iklan rokok baru itu?" Ah, ternyata atasanku, menanyakan nasib tugas yang sudah diberikannya kepadaku. "Belum, Mbak, aku lagi konsen ke yang lain dulu," tukasku. "Cepet ya! Yang bagus juga, kalo sekali ini mereka cocok sama kita, pasti mereka pake kita lagi," kata atasanku. "Sip," aku menutup pembicaraan dan duduk di singgasanaku. Namaku Rifka, aku bekerja di perusahaan periklanan, bagian kreatif.

***
"Heh, bengong aja!" Seseorang mengejutkanku. Ia menepuk bahuku sambil menyapaku demikian. "Ke mana aja sih, lo? Berapa hari ini ga keliatan?" Tanyanya. "Cuti, nengokin bapak gue di Bandung," jawabku. "Emang bokap lo di Bandung?" Tanyanya lagi. "Enggak sih, di Jakarta, maksud gue itu bapak kosan," jawabku sambil tersenyum nakal.
Huh, perhatian sekali laki-laki ini. Selalu saja mau tau apa yang kukerjakan, di mana aku menghabiskan liburan, ke mana aku kalau ga keliatan di kantor. Annoying! Eh tapi, kenapa aku masih bersikap ramah ya sama dia? Huh, aku perempuan, single, usia 23. "Tar makan bareng yuk? Ada menu baru di kantin sebelah," ia mengajakku makan siang bersama.
***

Aku sedang tenggelam dalam duniaku, dunia imajinasi kreasi. Memikirkan konsep-konsep terbaik iklan suatu produk. Karena ide bisa muncul kapan saja, maka jam kerjaku bisa 24 jam! Capek? Ga juga sih, aku menikmatinya. Di kantor ini, aku ga terikat jam kerja tertentu, yang penting memenuhi waktu 8 jam kerja sehari. Jadi, kadang aku datang pagi, kadang siang, kadang malam. Orang-orang di sekelilingku juga sama. Kami berkumpul hanya jika ingin rapat, karena pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan tim.

Kriiiing, telepon mejaku berdering. "Welcome back, Jeng Rifka," sapa sahabatku Mauren. "Thank you, sweet heart," jawabku. "Eh, Rif, weekend ini lo ada acara ga?" Tanyanya. "Mau ngajak gue kencan ya? Sori ya, gue udah punya agenda sendiri tuh, ikut seminar psikologi, temanya, psikopat di sekitar kita," jawabku. "Yah....ga asik lo, masa' ikut seminar sih? Lagian, ga pantes lo ikut-ikutan yang kayak gitu!" Tukasnya. "Seperti bos selalu bilang, inspirasi bisa datang dari apa saja, dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Siapa tau gue dapet banyak inspirasi dari sini," kujawab, kuakhiri dengan senyum termanisku.
Ya, aku memang lulusan fakultas psikologi. Sekilas pekerjaanku ga ada nyambung-nyambungnya dengan latar belakang pendidikanku, tapi aku bisa menerapkan prinsip-prinsip psikologi di sini.
***

Getar handphone mengalihkan pikiranku, Mama. "Ya, Ma?" Dengan nada malas aku jawab teleponnya, pasti mama mau mengingatkanku ini itu. "Rif, kamu pulang ga minggu ini?" Tanya mama. "Pulang, Ma, minggunya ya. Sabtu aku ada acara," jawabku. "Oma sakit, Rif, kamu pulang ya Sabtu ini? Kalau bisa Jumat malam. Mau dijemput?" Kata mama. "Hah, sakit apa, Ma? Sekarang di mana? Gimana kondisi Oma?" Langsung terbayang wajah Oma. "Di rumah sakit," mama baru ingin meneruskan ceritanya. "Iya, Ma, Jumat malam aku pulang, ga usah dijemput," kataku.
Aku sayang Oma banget, aku harus menjenguknya segera. Pengennya sih sekarang juga, tapi ga bisa, ada deadline untuk beberapa tugas. "Rif,....." Seseorang memanggilku, aku menoleh ke arahnya.....
***