Waktunya 45 menit untuk kami semua - rombongan -menaiki satu per satu
anak tangga Great Wall of China. Tidak seperti hari-hari sebelumnya,
suhu hari ini cukup bersahabat, 23 derajat celcius disertai angin.
Matahari cukup membuat mataku silau menatap sekeliling. Kukeluarkan
kacamata hitamku, kukenakan ia untuk melindungi mataku. Ah, tentu saja,
melindungi mata. Syal sudah menggantung di leherku, siap menghangatkanku jika nanti di atas sana angin membuatku merasa dingin. Backpack
kecil sudah melekat di punggungku. Air minum, jaket, payung, make up,
obat-obatan, tissue basah, tissue kering, sarung tangan, dompet dan
isinya, mukena. Semua ada di sana, siap menemaniku ke dua menara terdekat yang kupikir dapat kujangkau. Handphone dan kamera tentu saja kubawa, ada di dalam kantung celanaku.
Untuk menjaga tubuhku tetap hangat, hari itu kukenakan tiga lapis baju. Blue jeans, sepatu kets yang membuatku nyaman menapak batu-batu tangga itu, dan sebelumnya sudah kuolesi pelembab di wajahku, kugunakan juga pelembab bibir, dan lotion di seluruh tubuhku.
Kumulai langkahku bersama beberapa orang teman. Satu persatu mereka
meninggalkanku, satu per satu kutinggalkan yang lainnya. Satu persatu
kujejaki anak tangga di tempat agung ini. Hela demi hela napas
mengiringi pengalaman ini. Semakin tinggi, semakin berat, semakin
memikat.
Sesekali napasku tersengal-sengal, membuatku bimbang apakah akan kulanjutkan perjalanan ini atau tidak. Namun menara di atas sana cukup memesonaku sehingga kutetapkan keinginanku untuk menuju puncaknya.
Jutaan orang datang ke sini. Untuk kali pertama, kedua, atau kali keseribu. Jutaan kenangan pasti melekat di dinding dan batu-batu di sini, menyeruak ke relung hati terbawa semilir angin negeri China, membuncahkan rasa rindu dan syahdu manusia-manusia pendaki.
Di satu titik, kulihat berjajar gembok-gembok cinta. Pasangan-pasangan yang mempercayai hal itu, mereka yakin jika mereka meletakkan sebuah gembok bertuliskan nama mereka dan pasangan mereka, lalu membuang kuncinya, maka cinta mereka akan abadi. Memang, kadang keyakinan seperti ini tak sejalan dengan logika. Tapi itulah dinamika manusia, kita hidup bersama aneka keyakinan dan logika.
Sudah separuh perjalanan kutempuh, teman yang berjalan di sisiku tidak lagi sama. Penggambaran sederhana kehidupan, bahwa dalam menjalani hidup ini kita bisa bertemu siapapun. Terkadang kita tidak bisa memilih ingin bertemu siapa, namun sebaliknya, terkadang siapa yang kita temui itu mengubah cerita hidup kita. Dari separuh perjalanan ini bisa kulihat pemandangan di bawahku yang botabene adalah langkah-langkah yang sudah kubuat dan kutinggalkan. Terlihat indah, tenang. Separuh perjalan lagi harus kutempuh, kulanjutkan langkah-langkah kecilku.
Ketinggian ini terlihat dan terasa curam. Sekali waktu kurasa begitu lelah dan ingin berhenti, kembali tanpa pernah berhasil menaiki menara. Namun kemudian, kuarahkan pandanganku ke atas menatap menara itu, dan berlalulah aku menuju puncaknya.
Kembali terhenti, di sini aku bertemu dengan beberapa
teman lain. Beberapa di antara mereka sudah lebih dulu sampai dan
lainnya tiba bersamaan denganku. Seperti hidup, satu cerita lain
bersama orang yang lain.
Ada saatnya pula kita lelah dan kita memilih
beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan.
Pikiranku terbang bersama angin. Gembok-gembok cinta di bawah sana masih terlihat jelas di benakku, entah mengapa. Tiba-tiba saja sebuah nama muncul mengejutkanku, seolah membangunkanku dari lamunan. Rupanya kelelahan ini membuatku 'terbang' ke masa silam. Tersadar, kukembali berdiri dan mendaki. Hingga sampai di menara pertama dan menara kedua.
Aku pun menikmati sensasi pengalaman ini. Di menara kedua ini, aku bersama belasan teman berfoto. Sekadar mengabadikan momen berkesan ini. Kuhirup udaranya, kulihat awannya, langitnya, kurasakan sinar mataharinya hangat mengenai kulit wajahku, China dengan pesonanya.
Aku dan beberapa temanku memutuskan turun setelah itu, sisanya melanjutkan perjalanan menuju menara berikutnya.
Hal ini mengingatkanku bahwa tidak selamanya kita bersama orang-orang yang ada di sekeliling kita saat ini. Bisa jadi kita memang berpisah ke dua arah yang berbeda, kita meninggalkan mereka, atau mereka yang meninggalkan kita.
Ah, perjalanan ini harusnya menjadi satu perjalanan heroik, tapi entah mengapa aku merasakan sedikit roman dalam pengalaman ini. Kembali kuteringat kepada satu nama yang tadi tiba-tiba muncul di benakku.
Meski tetap disertai perasaan ngeri, perjalanan turun tidak terlalu melelahkan. Di sisi kananku seorang teman berbaju kuning, di depanku seorang teman berkaos hitam, kami bertiga segera kembali ke meeting point. Sesekali kami sempatkan berpose di dalam perjalanan turun kami. Hingga seseorang mengejutkanku dengan sapaannya.
"Rona?"
"Hai," jawabku.
Lalu dalam beberapa menit kami tenggelam dalam sebuah percakapan kenangan. Dan bisikan doa di dalam hati, semoga kami bertemu kembali.
(Beijing, April 2012)
3 comments:
asyik ya mbak habis jalan-jalan
Menara kedua itu masih belom jauh dari tanah... kekekeke
Lidya: iya, Mbak, jalan2 kantor. Pa kabar, Mbak?
iTo: ah buka rahasia lo!
Post a Comment