"Bawa atuh...bawa....ka dokter," suara yang tadi kami dengar histeris sekarang melemah, memelas, tipis harapan. Wanita ini, kami yakin adalah ibu dari anak yang sedang berada di garis batas kehidupan tadi. Bajunya basah, sama basahnya seperti anak yang sedang digendong seorang laki-laki yang berusaha menolongnya. Dua, tiga kali laki-laki itu menghembuskan napas bantuan, anak itu bergeming, tetap terkulai lemas dengan seluruh kulit membiru dan mulutnya berbusa.
Dari yang kami dengar, anak ini jatuh ke kolam ikan di halaman belakang rumahnya. Ibunya sedang memasak ketika ia bermain-main di dekat kolam itu. Selanjutnya, bagaimana kecelakaan itu terjadi kami tidak tahu. Yang pasti, kejadian siang kemarin membuat kami sadar akan beberapa hal. Bukan hanya syukur nikmat atas karunia anak yang telah Allah berikan kepada kami, tapi ini juga merupakan peringatan kepada kami sebagai orangtua untuk lebih berhati-hati.
Di atas sepeda motor yang sudah siap melaju menembus jalan raya Cicurug, Sukabumi, anak itu digendong oleh seorang laki-laki yang mencoba menolongnya, menyambungkan tali kehidupan yang hampir putus. Sebelumnya, anak tersebut dibalikkan tubuhnya, kami yakin, ia berusaha mengeluarkan air yang tampaknya cukup banyak tertelan oleh si anak. Setelah dibalikkan, tubuh anak itu dimiringkan dan dua tau tiga orang bergantian memberi pertolongan pertama lewat napas buatan.
Si ibu masih menangis pilu, ia terus saja berkata, "Bawa, bawa atuh....buru bawa ka dokter." Sesekali ia menjerit histeris sambil menarik-narik rambutnya. Berputar-putar, maju, mundur, sambil terus menangis meraung-raung. Saya ingin sekali memeluknya. Sementara itu, suami saya beberapa kali maju dan mundur menghampiri anak itu. Ada yang kurang tepat memang pada pertolongan itu, saya tahu suami saya ingin menarik anak itu, membaringkannya, lalu menekan dadanya, dan memberi napas bantuan, tapi ia ragu.
Situasi dan kondisi panik yang ada kala itu membuat kami urung membantu. Mendengar jerit tangis si ibu yang terus menerus memohon agar anaknya segera dibawa ke dokter, kami yakin akan pemikiran ibu itu bahwa ia menginginkan anaknya segera dibawa ke tempat pertolongan yang pasti. Di sisi lain, orang-orang di sekitarnya justru ingin memberi pertolongan pertama terlebih dahulu sebelum dibawa ke dokter.
Anak itu masih membiru dan terkulai lemas dalam gendongan. Kami lihat bola mata anak itu masih di bawah, masih ada harapan, ucap kami. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya anak tersebut menunjukkan reaksi dan setelah itu barulah ia dibawa ke dokter. Kami hanya bisa berdoa semoga ia selamat.
Sebelumnya, ketika si ibu masih saja menjerit-jerit menangis, seorang ibu lain berkata kepadanya, "Kumaha sih, Neng?....keur naon emang tadi? naha atuh ninggalkeun budak sorangan kitu? aduh, Neng....Neng..." Ah tidak, dalam kondisi seperti itu masih saja si ibu disalahkan. Kasihan. "Mana ada sih orangtua yang pengen anaknya celaka?" gerutu saya dalam hati. "Udahlah.....biar ini jadi pelajaran buat kami semua. Kalau emang mau nanya, nanti ketika keadaan sudah tenang dan harus baik-baik nanyanya," saya geregetan sama ibu yang nyalahin tadi.
Anak itu akhirnya dibawa ke dokter, kami kembali ke dalam rumah. Kemarin memang kami berdua mengunjungi nenek di Sukabumi, tanpa anak-anak. Saya yakin, pikiran kami masing-masing langsung tertuju ke anak-anak kami. Beberapa detik kemudian saya sudah terhubung dengan telepon rumah, ada si Mbak pengasuh yang mengangkat telepon, dari kejauhan saya dengar suara anak-anak berteriak, "Ibu....Ibu....kakak mau ngomong sama Ibu..." Hati saya berdesir ingin menangis. Kejadian hari itu memberi pelajaran berharga buat semua yang menyaksikan, khususnya bagi kami berdua.
***
Setelah melihat kejadian kemarin, saya dan suami saya sedikit berbincang-bincang. Tentang betapa minimnya pengetahuan masyarakat kita akan pertolongan pertama pada kecelakaan. Entah ini salah siapa? Pemerintah kah atau justru masyarakat kita sendiri yang kurang aktif mencari tahu informasi-informasi tersebut. Untuk beberapa kalangan seperti ibu-ibu rumah tangga yang saya ceritakan di atas, saya maklum. Nah tapi, harusnya pemerintah memikirkan gimana caranya mensosialisasikan cara2 P3K ini kepada ibu-ibu rumah tangga. Kenapa? Ya karena yang ada di rumah dan mendampingi anak-anak adalah kaum ibu toh? Saya tidak tahu, apa posyandu atau puskesmas udah optimal fungsinya. Saya pikir, keduanya harusnya ga cuma sebagai lembaga yang menyediakan layanan kesehatan sebagai bentuk kuratif, tapi lebih jauh dari itu seharusnya keduanya juga memberi pengetahuan-pengetahuan preventif. saya pikir banyak kecil namun penting bisa disampaikan ke masyarakat. entahlah...
terakhir, terkait dengan cerita di atas, saya ingin berbagi sedikit informasi tentang CPR, silakan klik link ini.
Wallahu a'lam. Semoga bermanfaat.