Saturday, April 28, 2012

Saya Pasti Kembali; Bumi Halmahera dalam Catatan

Saya pernah ada di sana, mendarat di aspalnya bandara itu. Sebuah pesawat capung akhirnya mengantarkan saya ke negeri Sultan Baabullah. Waktu itu hujan rintik-rintik kecil. Saya berlari-lari dari pesawat menuju tempat pengambilan bagasi. Setetes dua tetes air mengenai hijab putih yang saya kenakan. Air hujan Ternate.

Lapar dan lelah. Dari situ saya dibawa entah ke dusun apa namanya. Di dusun inilah saya diajak santap siang. Rumah makan sederhana, pemiliknya orang Makassar. Berceritalah ibu pemilik rumah makan ini tentang kisah hijrahnya dari Makassar ke Ternate. Kisah yang sebenarnya saya pun sudah lupa :p Yang masih saya ingat adalah sosok si ibu yang kala itu mengenakan daster. Santap siang itu biasa saja, kehangatan penyambutan ibu itu yang luar biasa.

Perjalanan masih panjang, saya masih harus meneruskan langkah saya dengan sebuah kapal kayu untuk menyeberang ke Pulau Bacan. Hari itu masih siang, sedangkan kapal baru ada pukul 6 petang. Akhirnya, saya manfaatkan waktu untuk berkeliling kota Ternate ini.

Sesekali saya turun dari mobil, berbincang-bincang dengan penduduk sekitar. Kemudian saya lihat sekeliling. Tanah. Pasir. Laut. Pohon kelapa. Parabola. Ya, rata-rata penduduk di sini memiliki antena parabola. Waktu itu siaran televisi sulit mereka dapat, karena itulah mereka memasang parabola.

Ah, sudah sore, saya pun diantarkan ke dermaga tempat kapal kayu itu berlabuh. Mereka sudah membelikan tiket untuk saya. Syukurlah, saya kebagian kabin. Setelah tiga jam perjalanan udara, kini saatnya untuk menikmati delapan jam perjalanan laut. Langit dan udara malam jadi teman, juga kegelapan.

Tidak....!!! Sinyalnya lemah, waktu saya tinggal beberapa menit lagi untuk update status di friendster =p Tapi sayang, saya tidak bisa membukanya :( Baiklah, untuk sementara ga eksis dulu ^_^

Masih dapat saya lihat rangkaian kayu kapal ini. Masih dapat saya ingat gelap-gelapnya kulit orang-orang di sini dan kekarnya tubuh-tubuh mereka. Masih dapat saya hirup bau laki-laki di sini, aroma laut. Pun masih saya simpan tatapan-tatapan tajam penumpang-penumpang kapal ini. Ada yang aneh kah dengan diri saya? Atau dengan kehadiran saya? Saya merasa takut. Tuhan, lindungi saya.

Delapan jam lagi baru bisa saya jejak tanah Bacan. Sekarang pukul 10.00 malam, waktu indonesia bagian barat. Artinya sudah jam 12 malam di sini. Saya terjaga dan memilih berdiri di depan kabin saya. Seorang laki-laki, penduduk asli, pikir saya, berdiri sendiri menatap laut. Tak lama, ia pun menyadari kehadiran saya. Saya takut dengan tatapannya. Hampir semua penumpang kapal ini menatap saya tajam seperti itu. Takut, namun saya tetap berdiri memandang laut, membiarkan laki-laki itu menatap saya.

Sepertinya sudah hampir semua bagian kapal saya jejaki, termasuk ruang nahkodanya. Sempat pula saya berbincang-bincang dengannya. Tatapan nahkoda ini tidak tajam seperti para penumpangnya. Ah, tentu saja, dia harus menatap tajam lautan di depannya. GR ya saya?

Oh ya, saya juga sempat terkunci di dalam kamar mandi kapal ini. Kuncinya tidak bisa saya buka dan parahnya lagi, tidak ada orang di luar! Kamar mandi ini terletak di bagian bawah, ada di ruang cargo. Seram sekali tempat ini dan saya sendirian waktu itu. Beberapa menit terkunci, akhirnya saya bisa membuka pintu kamar mandi ini. Dengan bergegas saya tinggalkan ruang bawah kapal ini. Takuuuuuuut!!!!

Saya temui beberapa orang yang teler, dengan botol bir di sisi mereka. Ngeri. Langsung saja saya lewati mereka ini. Dengan langkah perlahan saya lewati mereka semua. Ada-ada saja. Kenapa saya melakukan ini ya? Saya bisa saja terlelap di kabin, tapi saya lebih memilih menikmati suasana ini. "Suatu saat saya saya akan merindukan ini," begitu pikir saya. Ya, dan inilah saatnya saya merindukan perjalanan itu.


***

Saya akan ada di sini selama sebelas hari. Saya benar-benar excited, tak sabar dengan apa yang akan saya temui esok lusa; Halmahera Selatan dengan pesonanya.

Di kala senggang, saya berjalan-jalan. Hanya menghabiskan waktu saya dengan menikmati alam dan manusia. Tanpa televisi, tanpa koneksi internet, tanpa pusat-pusat perbelanjaan. Anak-anak dan dewasa, pria dan wanita. Senyum, sapa, gigi putih mereka. Ya Tuhan, kangen banget. Kangennnnn banget.

Pernah saya membayangkan menetap di sini untuk beberapa bulan. Memantapkan pijakan saya di tanahnya. Menorehkan telapak kaki saya di pasirnya. Membuang napas saya bersama udara segarnya. Berbaur dan berbagi cerita dan ilmu dengan orang-orangnya.

Di suatu sore, saya sholat di masjid sederhana di suatu desa. Lagi-lagi saya lupa nama desa itu. Banyak anak sedang bermain di halamannya, menyenangkan, saya pun teringat masa-masa kecil saya. Lalu seorang ibu menghampiri saya dan kami pun saling bercerita. Kala itu saya masih muda, enam tahun yang lalu.

Di sore yang lain saya diajak berkeliling lagi dan mampirlah kami di suatu warung. Teronggok di depan warung itu durian-durian besar dan segar. Saya bukan pecinta durian, tapi sore itu saya mencicipi durian yang nikmatnya luar biasa. Durian ini dinamakan Durian Mentega karena warna daging buahnya yang kuning seperti mentega. Ya, saya setuju dengan nama itu :) Kapan lagi saya temukan durian mentega itu?

***

Hari Minggu, hari bebas tugas. Acara saya hari itu adalah memancing di tengah laut. Jadi, dengan speedboat kami dibawa ke tengah laut. Matahari tidak terlalu terik, angin kencang, laut tenang, dan yang pasti alat-alat pancing. Saya berdiri menatap laut, subhanallah, luas sekali tempat ini. Termenung sejenak, tafakur, lalu akhirnya saya bergabung dengan yang lain, saatnya memancing!!!!  Sejam, saya hanya dapat satu ikan, lalu bosan. Saya benar-benar tidak suka memancing! Tapi saya benar-benar menikmati berada di tengah laut di bawah langit dan sinar matahari kala itu.

Aha! Dapat! Satu teriakan saya dengar. Satu teriakan lagi, dan lagi. Di antara mereka ada yang dapat ikan besar, ikan kecil seperti saya, dan satu yang unik, ikan durian. Hah, ikan durian? Yup! Ikan ini di laut tampak sama dengan ikan lainnya, tapi ketika diangkat ke udara (ke darat) badannya menggembung dan berduri-duri seperti durian. Unik, sayang, saya sudah tidak punya fotonya lagi :(

Well, akhirnya acara mancing Minggu itu selesai kami pun dibawa ke tempat penyimpanan ikan. Di tempat ini, ikan-ikan yang ditangkap nelayan disimpan. Seorang petugas menjelaskan proses dari awal ikan datang sampai akhirnya dijual. Wuihhh......dingin sekali di tempat ini, suhunya minus sekian derajat celcius!Brr...... Lagi-lagi sayang, dokumentasi fotonya hilang :(

Oya, ketika saya di sana, sebenarnya di salah satu hari itu ada gempa, tapi saya tidak merasakannya. Justru saya tahu dari sms ibu saya di Jakarta. Katanya, saya susah dihubungi. Well, apa yang bisa diharapkan dari sebuah penginapan kecil yang jauh dari kota? Sinyal hanya saya dapat di luar kamar. Selebihnya, saya mati gaya.

***

Alhamdulillah, sebelas hari di sana, tugas selesai sudah. Saatnya kembali ke Jakarta. Perjalanan laut delapan jam, pesawat capung satu jam, pesawat besar dua jam, dan perjalanan dari Soetta ke rumah satu jam, home sweet home, akhirnya saya pulang.

***

Catatan ini saya tulis kembali sebagai obat kangen saya pada Bumi Halmahera. Catatan tentang perjalanan ini pernah saya publish di blog saya di friendster, beserta beberapa foto. Tapi, berhubung friendster lama sudah tidak bisa diakses lagi alias udah dihapus seperti yang dijelaskan Chimenk di link ini, jadilah saya tulis kembali catatan ini.

Suatu saat saya pasti ke sana lagi, menikmati senja di Halmahera, laut dan pantainya yang cantik.

(Di suatu bulan di tahun 2006)

Tuesday, April 24, 2012

Kartini Kartono; Lutchu Na...

Cuma mau berbagi foto ekspresi Kartono eh Kartini Cilik.
Ini adalah foto suami saya waktu kecil, waktu dia ikut peringatan Hari Kartini di sekolahnya dulu.
Lucu kan, baju adat lengkap dengan pedangnya, dipadukan dengan kacamata besar itu ^_^


“Foto  ini di ikutsertakan  dalam giveaway Blogger Kartinian Ekspresi Kartini Cilik yang di selenggarakan Mama Olive”.
 

Monday, April 23, 2012

Menunggumu di China

 


 Hari telah larut, pukul 9.30 waktu setempat ketika kami berkumpul di lobi hotel. Malam ini akan kami jajal keretamu.








Seperti biasa, ada satu rasa mengudara ketika aku termangu di stasiun
Karena di tempat itulah kita biasa bertemu
Selalu ada puisi untukmu dari sebuah stasiun

Terakhir, kutulis "Origami Sakura" untukmu
Ketika itu hari tidak dapat mempertemukan kita
Meski kini pun sama, tak mengapa, ku kan tetap menunggumu hingga tiba

Kereta ini tidak sama seperti kereta di Jakarta
Ia akan menyusuri jalan-jalan di bawah tanah China
Sudah pasti takkan kutemukan kau di sana

Aku rindu, hanya kereta itu yang bisa memahamiku
Betapa dada ini sesak setiap kali ku tak dapat menemukanmu

Kini, bahkan di kereta bawah tanah yang cepat ini pun, kau tetap tak kuraih
Jauh, berapa kilo lagi harus kutempuh?

China, kembalikan aku kepadanya
Antarkan aku dengan kereta bawah tanahmu kepadanya
Kirimkan aku dengan kecepatanmu kepadanya
Jangan biarkan aku kehilangannya



(Beijing, April 2012. Foto-foto milik Safiudin Alwi)

Sunday, April 22, 2012

Batik; Sejuta Corak, Sejuta Warna, Sejuta Acara

Batik! Sejuta corak, sejuta warna, sejuta acara. Batik bisa dipakai siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Buat kita orang tua? Oke! Buat bayi seperti anak-anak saya? Oke juga! Liat foto Raisha Bayi dan Raihana Bayi pakai batik ^_^

Kakak Raisha dengan You Can See Batik
Adik Raihana dengan Batik Serupa Kakaknya

Buat Mommies Daily, batik juga recommended lho buat krucil-krucil kita sehari-hari main di lingkungan rumah. Nih dia buktinya ;) 

 
Raisha main di taman

 Raihana santai di rumah

Terakhir, pasti batik juga cocok untuk kondangan. Seperti yang dipakai Raihana:


Yuk, kita tanamkan anak-anak kita kecintaan akan negeri kita, termasuk kecintaan kepada batik. Pasti Mommies Daily punya cerita masing-masing tentang Cara Lain Cintai Batik. 
Misalnya dengan cara berpartisipasi di program Satu Batik Jutaan Jari. Caranya, upload cap sidik jari si kecil ke Facebook fan page-nya Kebaikan bodrexin, juga bisa dilihat di twitter @tentangkebaikan. Cap sidik jari ini nantinya akan dibuat menjadi desain batik tertentu. 

Ikutan yuk, jangan sampe ketinggalan!


 

Dari Rickshaw; Becak China menuju Jin Sha Theater

-->
Perjalanan ke China kemarin memang benar-benar membuat saya kangen Indonesia. Dari sudut pariwisata, terus terang saya lebih merekomendasikan Indonesia dibanding China. Indonesia dengan banyaknya tempat yang bisa dikunjungi dan orang-orangnya yang ramah, emang patut buat dijadikan objek wisata.
Acara jalan-jalan ke Beijing dua pekan lalu itu memang acara kantor. Kantor kami memang rutin mengadakan acara outing ke luar negeri. Tahun ini tempat yang dikunjungi adalah Beijing – China. Kami berangkat Selasa malam, tepatnya tanggal 3 April dengan menggunakan pesawat Garuda Indonesia dan memakan waktu tujuh jam untuk sampai di Capital Airport – Beijing. 
 Passport, Itenerary, Panduan Bahasa Mandarin Dasar
-->
Ini dia agenda kami di hari pertama:
-Buffet Breakfast - Hutong Rickshaw Tour - Lunch in local restaurant - Hotel Check In (Traders Hotel – Beijing) - Beijing Acrobat Show - Peking Duck Dinner
Terus terang, karena udah pegel di pesawat duduk selama tujuh jam, kami membayangkan sarapan yang menggugah selera. Tapi apa boleh dikata, makanan yang tersaji pagi itu kebanyakan sayuran; kol, timun, tomat, pokcoy, toge, telor rebus, telor asin, jagung rebus, sosis, dan ada satu makanan yang saya tidak tahu itu apa, entah darah (marus) atau daging babi.
Di luar, angin sangat kencang. Suhu udara hanya beberapa belas kalau saya tidak salah. Jadi, jaket tebal dan syal sangat berguna pagi itu. 
 Pemandangan di luar restoran tempat kami sarapan
Dari situ kami menuju daerah kota tua. Di sana kami diajak tur keliling daerah tersebut menggunakan becak atau di sana disebutnya Rickshaw. Kota ini namanya Hutong, jadilah agenda pertama setelah makan tadi diberi nama Hutong Rickshaw Tour.
 Rickshaw
Satu rickshaw cukup untuk duduk dua orang dan dalam beberapa menit kami diajak berkeliling Hutong. Gila! Tukang-tukang rickshawnya edan atau kenapa ya? Mereka membawa kami berkeliling gang-gang sempit dengan kecepatan tinggi! Wow! Sport jantung bener deh waktu itu. Hampir tabrak ini, hampir tabrak itu. Untung cuma hampir (dasar orang Indonesia, masih aja ada untungnya, dalam hal apapun). 
Di suatu tempat di depan danau (atau sungai?) si abang rickshaw berhenti dan langsung bilang ke kami, “Photo, photo”. Dengan nada yang galak dia mengatakan itu dan menyodorkan tangannya ke kami, rupanya dia meminta kamera kami. Untuk sejenak kami ambil gambar di tempat ini, setelah itu kembali berkeliling Hutong. Yihaa...!!! Ngebut lagi!
Becak...Becak...
Biasanya setelah tour, wisatawan diminta untuk memberi tipp 10 yuan kepada si abang rickshaw ini. Tapi hari itu kami gratis karena pihak travel yang membayarkannya untuk kami semua. Yippy!! Tour guide kami, Uncle Shiaw, bercerita, mereka para tukang rickshaw itu digaji pemerintah perbulan 400 – 500 yuan. Dengan gaji segitu, mereka butuh tambahan untuk menghidupi keluarga mereka. Nah, uang-uang tipp itulah yang menjadi sumber tambahan bagi mereka. 
Hutong adalah kota kecil. Saya pikir alasan mengapa kami diajak mengelilingi kota ini adalah karena di daerah ini masih banyak bangunan-bangunan dengan arsitektur khas China seperti yang terlihat di foto.
Saya langsung kebayang Yogyakarta dengan andongnya. Saya tidak tahu apa Sultan punya konsep seperti China ini, menggaji para kusir per bulan untuk mengantarkan para wisatawan keliling Yogya. Dengan cara seperti ini sebenarnya ada dua hal didapat; menciptakan lapangan pekerjaan sekaligus promosi objek wisata.

Setelah itu makan siang. Ah tapi saya lupa hari pertama itu kami makan siang di mana. Yang jelas, setelah makan siang kami kembali ke hotel untuk check in dan diminta kembali berkumpul pukul 03.30 waktu setempat. Selanjutnya kami menuju Jin Sha Theatre, tempat kami akan menyaksikan Beijing Acrobat Show.

 Sebelum nonton akrobat, pose dulu

Sebelum kami masuk ke Jin Sha Theatre, Uncle Shiaw mengingatkan kami untuk segera mencari tempat duduk. Bebas di mana pun, kecuali di deretan tengah karena itu tempat duduk VIP. Well, akhirnya kami buru-buru ‘tek-in’ tempat. Baru saja duduk, kami lihat dua atau tiga orang menjajakan popcorn. Mereka menjual popcorn manis dan asin, harganya 10 yuan. Waktu itu saya pilih yang asin. Masih 40 menit lagi sebelum acara dimulai dan akhirnya popcorn itu jadi teman kami menunggu dimulainya acara. Beberapa orang beli popcorn manis, beberapa lainnya seperti saya, beli yang asin. Ternyata, untuk dimakan dalam jumlah banyak, lebih enak yang manis. So, kalau teman-teman suatu saat berkunjung ke Jin Sha Theathre, saya lebih rekomen popcorn yang manis untuk teman nonton akrobat.
 Jin Sha Theatre(foto milik Safiudin Alwi)
Beberapa di antara akrobat-akrobat yang ditampilkan sebenarnya mungkin sudah pernah kita lihat di televisi. Tapi ya sensenya pasti beda antara menonton di televisi dan menonton langsung. Dari sekian pertunjukkan yang disajikan, saya paling suka sama atraksi ubah wajah. Entah apa namanya. Jadi, hanya dalam sekejap, si penari bisa berganti-ganti wajah (topeng) dengan cepat seperti yang diceritakan di link ini http://www.tribunnews.com/2012/02/04/satu-hentakan-topeng-langsung-berubah-warna.

Salah satu pertunjukkan acrobat
(Foto milik Safiudin ALwi)

Hari pertama kami ditutup dengan Peking Duck Dinner. Tunggu cerita lain dari saya ya!


 

Sunday, April 15, 2012

Cinta dalam Sekantung Teh China



"Oma, ini teh pesanan Oma."

Yup, Oma memang pecinta teh. Itu sebabnya ketika aku pergi ke China pekan lalu, Oma memintaku membawakannya oleh-oleh teh khas sana. Kebetulan, salah satu itenerary rombongan kami adalah Dr. Tea, produsen teh besar di Kota Beijing.


Di Dr. Tea ini kami diberi penjelasan beberapa macam teh yang mereka produksi, khasiat-khasiatnya, dan tak lupa cara memegang cangkir ala orang-orang China. Sambil diberi penjelasan, kami pun dipersilakan untuk mencicipi masing-masing varian teh yang mereka produksi. Berikut ini rangkumannya dalam bahasa Inggris (untung bukan bahasa China ;p ):
1. White Tea
- It can dispel the effects of alcohol and nicotine.
- It also  acts on colds, coughs and sore throats. 
2. Golden Green Tea/ Slimming Tea (wild pu-erh tea)
- It can regulate blood pressure, lower cholesterol and lose weight.
- Fill tea water with honey and it is good for insomnia.
3. Oriental Beauty (The king of Oolong Tea)
- It is good for blood circulation and skin.
- It is good for Anemia and enriches blood.
- Add some brown sugar into tea as it can nourishes the stomach.
- It can soften the blood vessels.
4. Jasmine Tea
- It can drive away summer heat and improve eyesight.
- It can shake off drowsiness and relieve headache.
5. Litchi Tea (Black Tea)
- It is good for digestion.
6. Gin-seng Oolong Tea
- It can help to restores your energy.
- Protect liver and kidney.

Oma minta dibuatkan secangkir teh. Akhirnya, pagi itu, kami saling bercerita. Aku bercerita tentang bagaimana orang-orang China memegang cangkir teh yang kecil itu. Untuk perempuan, cangkir dipegang dengan tiga jari yaitu ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Sedangkan dua jari lainnya, yaitu jari manis dan jari kelingking terbuka (mengarah ke luar). Bagi laki-laki, cara memegang cangkir yang benar (ala orang China) adalah juga dengan tiga jari (ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah), namun dua jari lainnya mengarah ke dalam. Oma mendengarkan ceritaku seolah-olah dia belum tahu tentang hal yang kuceritakan itu.

Setelah selesai mendengarkan ceritaku tentang apa yang kulihat di negeri China sana, Oma pun bercerita tentang bagaimana pertemuannya dengan Opa bermula dari sekantung teh oleh-oleh. Ternyata, Oma dulu bekerja di toko teh di Beijing dan Opa adalah pengunjung yang membeli teh dari toko itu. Pertemuan pertama Opa dengan Oma berlanjut menjadi pertemuan kedua, ketiga, dan kesekian kali. Hingga akhirnya mereka menikah dan menetap di Indonesia. Cinta dalam sekantung teh, itulah cerita Oma. Sambil menyeruput teh yang kuhidangkan, Oma meneruskan cerita tentang kisah cintanya dengan Opa, hingga hari meninggi.

Setelah itu kutinggalkan Oma yang tersenyum mengingat kekasihnya, lalu kutulis catatan ini.

(Jakarta, April 14, 2012).



Saturday, April 14, 2012

Rona Kenangan dari Tembok Cina

Waktunya 45 menit untuk kami semua - rombongan -menaiki satu per satu anak tangga Great Wall of China. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, suhu hari ini cukup bersahabat, 23 derajat celcius disertai angin. Matahari cukup membuat mataku silau menatap sekeliling. Kukeluarkan kacamata hitamku, kukenakan ia untuk melindungi mataku. Ah, tentu saja, melindungi mata. Syal sudah menggantung di leherku, siap menghangatkanku jika nanti di atas sana angin membuatku merasa dingin. Backpack kecil sudah melekat di punggungku. Air minum, jaket, payung, make up, obat-obatan, tissue basah, tissue kering, sarung tangan, dompet dan isinya, mukena. Semua ada di sana, siap menemaniku ke dua menara  terdekat yang kupikir dapat kujangkau. Handphone dan kamera tentu saja kubawa, ada di dalam kantung celanaku.


Untuk menjaga tubuhku tetap hangat, hari itu kukenakan tiga lapis baju. Blue jeans, sepatu kets yang membuatku nyaman menapak batu-batu tangga itu, dan sebelumnya sudah kuolesi pelembab di wajahku, kugunakan juga pelembab bibir, dan lotion di seluruh tubuhku.


Kumulai langkahku bersama beberapa orang teman. Satu persatu mereka meninggalkanku, satu per satu kutinggalkan yang lainnya. Satu persatu kujejaki anak tangga di tempat agung ini. Hela demi hela napas mengiringi pengalaman ini. Semakin tinggi, semakin berat, semakin memikat.

Sesekali napasku tersengal-sengal, membuatku bimbang apakah akan kulanjutkan perjalanan ini atau tidak. Namun menara di atas sana cukup memesonaku sehingga kutetapkan keinginanku untuk menuju puncaknya. 



Jutaan orang datang ke sini. Untuk kali pertama, kedua, atau kali keseribu. Jutaan kenangan pasti melekat di dinding dan batu-batu di sini, menyeruak ke relung hati terbawa semilir angin negeri China, membuncahkan rasa rindu dan syahdu manusia-manusia pendaki. 
 
Di satu titik, kulihat berjajar gembok-gembok cinta. Pasangan-pasangan yang mempercayai hal itu, mereka yakin jika mereka meletakkan sebuah gembok bertuliskan nama mereka dan pasangan mereka, lalu membuang kuncinya, maka cinta mereka akan abadi. Memang, kadang keyakinan seperti ini tak sejalan dengan logika. Tapi itulah dinamika manusia, kita hidup bersama aneka keyakinan dan logika.

 
Sudah separuh perjalanan kutempuh, teman yang berjalan di sisiku tidak lagi sama. Penggambaran sederhana kehidupan, bahwa dalam menjalani hidup ini kita bisa bertemu siapapun. Terkadang kita tidak bisa memilih ingin bertemu siapa, namun sebaliknya, terkadang siapa yang kita temui itu mengubah cerita hidup kita. Dari separuh perjalanan ini bisa kulihat pemandangan di bawahku yang botabene adalah langkah-langkah yang sudah kubuat dan kutinggalkan. Terlihat indah, tenang. Separuh perjalan lagi harus kutempuh, kulanjutkan langkah-langkah kecilku.

Ketinggian ini terlihat dan terasa curam. Sekali waktu kurasa begitu lelah dan ingin berhenti, kembali tanpa pernah berhasil menaiki menara. Namun kemudian, kuarahkan pandanganku ke atas menatap menara itu, dan berlalulah aku menuju puncaknya. 

 

Kembali terhenti, di sini aku bertemu dengan beberapa teman lain. Beberapa di antara mereka sudah lebih dulu sampai dan lainnya tiba bersamaan denganku. Seperti hidup, satu cerita lain bersama orang yang lain. 





Ada saatnya pula kita lelah dan kita memilih beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan. 





Pikiranku terbang bersama angin. Gembok-gembok cinta di bawah sana masih terlihat jelas di benakku, entah mengapa. Tiba-tiba saja sebuah nama muncul mengejutkanku, seolah membangunkanku dari lamunan. Rupanya kelelahan ini membuatku 'terbang' ke masa silam. Tersadar, kukembali berdiri dan mendaki. Hingga sampai di menara pertama dan menara kedua.




 Aku pun menikmati sensasi pengalaman ini. Di menara kedua ini, aku bersama belasan teman berfoto. Sekadar mengabadikan momen berkesan ini. Kuhirup udaranya, kulihat awannya, langitnya, kurasakan sinar mataharinya hangat mengenai kulit wajahku, China dengan pesonanya.

Aku dan beberapa temanku memutuskan turun setelah itu, sisanya melanjutkan perjalanan menuju menara berikutnya. 

Hal ini mengingatkanku bahwa tidak selamanya kita bersama orang-orang yang ada di sekeliling kita saat ini. Bisa jadi kita memang berpisah ke dua arah yang berbeda, kita meninggalkan mereka, atau mereka yang meninggalkan kita.

Ah, perjalanan ini harusnya menjadi satu perjalanan heroik, tapi entah mengapa aku merasakan sedikit roman dalam pengalaman ini. Kembali kuteringat kepada satu nama yang tadi tiba-tiba muncul di benakku.

Meski tetap disertai perasaan ngeri, perjalanan turun tidak terlalu melelahkan. Di sisi kananku seorang teman berbaju kuning, di depanku seorang teman berkaos hitam, kami bertiga segera kembali ke meeting point. Sesekali kami sempatkan berpose di dalam perjalanan turun kami. Hingga seseorang mengejutkanku dengan sapaannya.

"Rona?" 
"Hai," jawabku.

Lalu dalam beberapa menit kami tenggelam dalam sebuah percakapan kenangan. Dan bisikan doa di dalam hati, semoga kami bertemu kembali.

(Beijing, April 2012)