Sunday, April 24, 2011

Mereka Memanggiku "Rif"

Rabu pagi, baru saja aku masuk ke ruang kreatif ini, beberapa langkah menuju meja kerjaku, lalu tiba-tiba kudengar seseorang memanggilku. "Rif, sudah dapat belum, konsep untuk iklan rokok baru itu?" Ah, ternyata atasanku, menanyakan nasib tugas yang sudah diberikannya kepadaku. "Belum, Mbak, aku lagi konsen ke yang lain dulu," tukasku. "Cepet ya! Yang bagus juga, kalo sekali ini mereka cocok sama kita, pasti mereka pake kita lagi," kata atasanku. "Sip," aku menutup pembicaraan dan duduk di singgasanaku. Namaku Rifka, aku bekerja di perusahaan periklanan, bagian kreatif.

***
"Heh, bengong aja!" Seseorang mengejutkanku. Ia menepuk bahuku sambil menyapaku demikian. "Ke mana aja sih, lo? Berapa hari ini ga keliatan?" Tanyanya. "Cuti, nengokin bapak gue di Bandung," jawabku. "Emang bokap lo di Bandung?" Tanyanya lagi. "Enggak sih, di Jakarta, maksud gue itu bapak kosan," jawabku sambil tersenyum nakal.
Huh, perhatian sekali laki-laki ini. Selalu saja mau tau apa yang kukerjakan, di mana aku menghabiskan liburan, ke mana aku kalau ga keliatan di kantor. Annoying! Eh tapi, kenapa aku masih bersikap ramah ya sama dia? Huh, aku perempuan, single, usia 23. "Tar makan bareng yuk? Ada menu baru di kantin sebelah," ia mengajakku makan siang bersama.
***

Aku sedang tenggelam dalam duniaku, dunia imajinasi kreasi. Memikirkan konsep-konsep terbaik iklan suatu produk. Karena ide bisa muncul kapan saja, maka jam kerjaku bisa 24 jam! Capek? Ga juga sih, aku menikmatinya. Di kantor ini, aku ga terikat jam kerja tertentu, yang penting memenuhi waktu 8 jam kerja sehari. Jadi, kadang aku datang pagi, kadang siang, kadang malam. Orang-orang di sekelilingku juga sama. Kami berkumpul hanya jika ingin rapat, karena pekerjaan ini juga merupakan pekerjaan tim.

Kriiiing, telepon mejaku berdering. "Welcome back, Jeng Rifka," sapa sahabatku Mauren. "Thank you, sweet heart," jawabku. "Eh, Rif, weekend ini lo ada acara ga?" Tanyanya. "Mau ngajak gue kencan ya? Sori ya, gue udah punya agenda sendiri tuh, ikut seminar psikologi, temanya, psikopat di sekitar kita," jawabku. "Yah....ga asik lo, masa' ikut seminar sih? Lagian, ga pantes lo ikut-ikutan yang kayak gitu!" Tukasnya. "Seperti bos selalu bilang, inspirasi bisa datang dari apa saja, dari mana saja, dari siapa saja, dan kapan saja. Siapa tau gue dapet banyak inspirasi dari sini," kujawab, kuakhiri dengan senyum termanisku.
Ya, aku memang lulusan fakultas psikologi. Sekilas pekerjaanku ga ada nyambung-nyambungnya dengan latar belakang pendidikanku, tapi aku bisa menerapkan prinsip-prinsip psikologi di sini.
***

Getar handphone mengalihkan pikiranku, Mama. "Ya, Ma?" Dengan nada malas aku jawab teleponnya, pasti mama mau mengingatkanku ini itu. "Rif, kamu pulang ga minggu ini?" Tanya mama. "Pulang, Ma, minggunya ya. Sabtu aku ada acara," jawabku. "Oma sakit, Rif, kamu pulang ya Sabtu ini? Kalau bisa Jumat malam. Mau dijemput?" Kata mama. "Hah, sakit apa, Ma? Sekarang di mana? Gimana kondisi Oma?" Langsung terbayang wajah Oma. "Di rumah sakit," mama baru ingin meneruskan ceritanya. "Iya, Ma, Jumat malam aku pulang, ga usah dijemput," kataku.
Aku sayang Oma banget, aku harus menjenguknya segera. Pengennya sih sekarang juga, tapi ga bisa, ada deadline untuk beberapa tugas. "Rif,....." Seseorang memanggilku, aku menoleh ke arahnya.....
***

Saturday, April 23, 2011

Selangkah Menuju Tenggarong

Kalau ditanya tempat yang ingin sekali saya datangi dalam waktu dekat, jawabannya adalah Tenggarong. Kota yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Propinsi Kalimantan Timur ini menarik perhatian saya sejak akhir tahun 2006 lalu. Saat itu, saya bekerja di sebuah konsultan sumber daya manusia. Kami biasa memberikan training-training manajerial ataupun soft skill training ke berbagai instansi baik swasta maupun pemerintah.

Suatu ketika, ada proyek dari suatu perusahaan di Tenggarong. Oleh manajemen, diputuskan satu tim berangkat ke sana. Sayangnya, saya tidak termasuk ke dalam tim ini. Yang terpilih adalah laki-laki semua karena menurut manajemen training kali ini akan menjadi lebih berat, lebih banyak agenda fisiknya dibanding materi di kelas. Sedih juga ketika itu. Pertama, karena itu artinya saya belum berkesempatan menginjakkan kaki di tanah Kalimantan. Kedua, karena saya merasa kemampuan saya kurang dibanding laki-laki.

Sejak masih sekolah kuliah dulu, saya bercita-cita ingin menjelajahi daerah-daerah di Indonesia, kalau bisa gratisan, bagaimanapun caranya. Syukurnya, keinginan saya itu terwujud, saya bisa pergi ke beberapa daerah di Indonesia tanpa mengeluarkan uang pribadi, melainkan dibiayai kantor. Yah, walau sambil bekerja, tetap saja ada kepuasan tersendiri.

Nah, salah satu daerah yang ingin saya datangi adalah Kalimantan. Saya ingin sekali menjejakkan kaki saya di tanah Borneo ini. Ingin masuk ke dalam hutannya, merasakan hawa lembab rimba di sana, menempelkan kulit saya ke kulit batang besar pohon-pohon di sana, dan mengecup embun yang tertidur di atas daun-daunnya. Namun Kalimantan bukanlah pulau yang kecil, ada banyak tempat yang bisa kita singgahi di sana, dan saya memilih untuk mengunjungi Tenggarong terlebih dahulu.

Bagaimana saya bisa sampai ke sana? Mudah-mudahan saya bisa mengunjungi Tenggarong bersama teman saya, Nona Noto, yang saat ini sedang mengadakan sayembara menulis dreamplace berhadiah menarik, yaitu pergi ke tempat impian kita tersebut. Ngomong-ngomong, apa sih daya tarik Kota Tenggarong? Menurut saya tidak banyak, karena ini hanyalah kota kecil. Yang menarik perhatian banyak orang dan yang juga paling terkenal adalah jembatannya. Jembatan yang gambarnya bisa kita temui dengan mudah dalam search engine, tampak seperti Golden Gate di Amerika sana. Karenanya, jembatan ini disebut Golden Gate Indonesia. Jika ke Tenggarong nanti, saya ingin sekali berfoto di sana! Saya harus berfoto di sana! Ya, saya harus!!!
Oya, dengan keunikannya sendiri, Tenggarong bisa dijadikan salah satu tempat tujuan bagi para wisatawan domestik maupun mancanegara. Visit Indonesia Year 2011, I Love Indonesia! Bisa menjadi slogan pariwisata kita di tahun ini. Mari kita promosikan tempat-tempat indah dan menarik negeri ini, sebagai wujud kecintaan kita pada Ibu Pertiwi.

Selain itu, kita pun bisa membuktikan kecintaan kita akan Indonesia dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan kita. Dimulai dari lingkungan diri kita, lingkungan terdekat kita, dan dari sekarang juga. Caranya, bagi saya mudah saja. Pertama disiplinkan diri kita untuk tidak membuang sampah sembarangan. Jangan jadikan bangsa ini bangsa yang jorok dengan sampah-sampah berserakan di mana-mana, memalukan. Kedua, dalam status saya sebagai karyawan, saya berusaha menghemat penggunaan kertas. Untuk laporan, naskah, atau dokumen-dokumen yang masih berupa draf atau untuk konsumsi pribadi, biasanya saya menggunakan kertas bekas. Cara yang mudah bukan? Ketiga, kaitannya dengan status saya di keluarga sebagai Ibu Rumah Tangga. Saya tanamkan kepada anak-anak saya akan kecintaan kepada tumbuh-tumbuhan dengan cara menanam tumbuh-tumbuhan kecil di halaman rumah. Mengajak mereka menyiram dan merawatnya juga baik menurut saya. Kelak mereka akan tahu artinya.

Terakhir, semoga bangsa kita menjadi bangsa yang besar karena hal-hal yang baik, bukan karena hal-hal yang bercitra negatif.

Friday, April 22, 2011

Menjemput Rizki, Menggapai Ridho Ilahi

Mari bicara tentang muslimah berkarir. Muslimah pekerja kantoran yang sebagian besar waktunya habis di luar rumah. Bukan untuk mengurusi rumah tangganya sendiri, melainkan untuk mengurusi urusan lain di luar rumah tangganya. Muslimah yang sehari-harinya berjibaku dengan tugas-tugas dan tanggung jawab selain keluarganya. Muslimah-muslimah ini banyak sekali kita temui sekarang.

Sebut saja satu jenis pekerjaan, maka kita akan dengan mudahnya menemukan muslimah di sana. Hampir di semua bidang, muslimah kini banyak berkarya, berkarir sejajar dengan laki-laki, bahkan ada yang lebih tinggi. Melihat hal ini, terbersitlah sebuah pertanyaan, fenomena apa yang sebenarnya terjadi kini?

Dari pertanyaan besar tersebut, lalu muncullah pertanyaan-pertanyaan turunan. Apa landasan mereka berkarir, bekerja di luar rumah? Apa motivasi mereka? Apa yang mereka harapkan dari sebuah pekerjaan yang mereka geluti? Apa efek dari mereka meninggalkan rumah untuk waktu yang sangat lama? Bagaimana sebaiknya muslimah menyikapi hal ini? Masih banyak lagi pertanyaan yang bisa terlontar jika kita membicarakan hal ini? Tulisan ini akan menelaah secara singkat fenomena ini, semoga bisa diambil hikmahnya..

Visi hidup kita sebagai manusia adalah mencapai ridho Allah. Allah telah memberikan segalanya untuk kita, termasuk misi hidup kita, yaitu beribadah kepadaNya. Jadi, idealnya siapapun kita, termasuk dalam pembicaraan ini para muslimah, melandaskan segala sesuatu yang kita lakukan demi Allah, demi alasan beribadah kepada Allah. Itu yang pertama dan utama. Jika kita sudah melandaskan segala pemikiran dan gerak-gerik kita karena Allah, insya Allah kita akan diberi tuntunan olehNya. Jika landasan kita selain itu, maka mari luruskanlah niat kita kembali kepada Allah.

Selanjutnya, kita bicara motivasi, kita bicara tentang alasan muslimah-muslimah berkarir. Sebenarnya, dari sekian alasan yang bisa dilontarkan para muslimah mengenai alasannya berkarir, kita bisa membaginya menjadi dua alasan besar, yaitu mencari uang dan ajang aktualisasi diri. Bagi muslimah tertentu, bekerja adalah untuk memenuhi kebutuhan pribadinya. Bagi muslimah lain, bekerja adalah untuk membantu perekonomian keluarga, membantu suami memenuhi kebutuhan keluarga inti. Ada lagi muslimah yang bekerja demi menopang keluarga besarnya, sebagai tulang punggung bagi orang tua dan adik-adiknya. Lalu, muslimah-muslimah lainnya bekerja untuk mencari kehidupan sosial dan aktualisasi diri.

Dari pekerjaan yang mereka geluti, mereka mendapatkan uang, sedikit atau banyak. Mereka menjemput rizki Allah yang ada di mana saja sesuai bidang pekerjaan mereka. Mereka mendapat kedudukan di kantor, jabatan-jabatan struktural yang berpengaruh pada keberlangsungan suatu perusahaan. Mereka mendapat relasi, tali silaturahim mereka panjang, dan lingkarannya pun menjadi besar. Mereka juga mendapat pujian, apresiasi atas hasil kerja mereka, pemikiran atau perbuatan. Mereka mendapat penghormatan dari orang-orang di sekeliling mereka. Mereka, para muslimah ini, mendapatkan ini semua.

Lalu kita tengok ke sisi lain, sisi luar diri muslimah-muslimah ini, apa yang terjadi? Sebab mereka bisa bertemu siapa saja di lingkungan kerja mereka, api fitnah mudah muncul. Fitnah yang bukan hanya dikaitkan dengan hubungan para muslimah ini dengan banyak lelaki, tapi fitnah juga bisa muncul karena sebab-sebab lain, karena hal-hal yang dekat dengan mereka. Sebab waktu mereka lebih banyak dihabiskan di luar rumah, maka bisa saja para muslimah ini mengesampingkan tugas dan tanggung jawab mereka di rumah, di keluarga. Sebab mereka mendapatkan hal-hal yang tadi terurai di atas, maka potensi mereka untuk takabbur menjadi besar. Sebab mereka terlalu asyik dengan dunia mereka di kantor, mereka bisa menjadi lupa kodrat asal mereka. Na'udzubillahi min dzalik.

Selalu ada dua sisi dari sebuah koin. Selalu ada dua sisi dari suatu permasalahan. Lalu, bagaimana hendaknya muslimah menyikapi hal ini? Sederhana saja. Pertama, niatkan segala sesuatunya demi Allah. Luruskan niat kita, bersihkan hati dan pikiran kita, jauhkan diri kita dari niat-niat yang tidak baik, seperti riya. Semoga Allah menuntun jalan kita.

Kedua, jika kita memilih untuk bekerja di luar rumah, berkarir di kantor, di perusahaan-perusahaan misalnya, atau berwiraswasta membuka toko-toko untuk usaha pribadi, atau apapun jenis pekerjaan dan di mana pun tempat kita menjemput rizki, mintalah ijin dari orang yang bertanggung jawab atas kita. Mintalah ijin mereka terlebih dahulu. Bagi muslimah yang belum menikah, wajib hukumnya meminta ijin kepada orang tua atau wali. Sebab, ridho Allah di atas ridho orang tua bukan? Maka, bagaimana kita bisa menggapai ridhoNya jika orang tua kita tidak meridhoi? Bagi yang sudah menikah, tanggung jawab Anda para muslimah, ada di tangan suami, mintalah ijin suami untuk bekerja di luar rumah. Semoga Allah melimpahkan kasih sayangNya kepada kita, muslimah berkarir.

Ketiga, cari pekerjaan yang halal. Rizki Allah ada di mana saja, kapan pun kita bisa menjemputnya, namun, apabila rizki itu kita dapat dari jalan yang tidak halal, apa kita akan mendapat barokahNya? Allah sudah memberikan kita karunia fisik yang sehat dan sempurna, akal, dan hati nurani. Gunakan itu semua di jalan yang baik, agar apa yang kita terima juga baik.

Keempat, laksanakan tugas dan tanggung jawab kita sebaik-baiknya. Pekerjaan yang sudah kita dapatkan adalah amanah. Di dalamnya terkandung kepercayaan atasan-atasan kita, perusahaan tempat kita bernaung, atau pelanggan-pelanggan kita, klien-klien kita. Sekali kepercayaan mereka hilang, sulit lagi bagi kita untuk mendapatkannya kembali. Maka, jadilah muslimah yang amanah dalam menjalankan pekerjaan kita. Muslimah yang dapat dipercaya.

Kelima, jaga harga diri dan martabat kita sebagai muslimah. Meski lingkungan memiliki pengaruh, akan tetapi harga diri, harkat dan martabat suami, nama baik keluarga, kita yang menentukan kebaikannya, melalui tindak-tanduk kita sehari-hari. Kita pelihara ucapan dan perilaku kita di luar rumah demi kemaslahatan pribadi dan keluarga. Semoga Allah melindungi kita.

Kelima, serahkan semuanya kepada Allah. Segala yang kita punya adalah milikNya dan akan kembali padaNya. Jika kita sudah melaksanakan itu semua, artinya kita sudah melakukan yang terbaik, selebihnya, biarkan Allah yang menentukan segalanya. Itulah yang dinamakan tawakkal. Berdoalah, pasrahkan diri kita padaNya. Semoga apa yang kita lakukan mendapat berkah dan lebih dari itu, kita gapai ridhoNya, ridho Ilahi. Wallahu a'lam.

*tanpa berniat menyinggung siapapun, tulisan ini dibuat sebagai keikutsertaan saya dalam lomba menulis tentang Islam dan Wanita. mohon maaf jika ada yang tidak berkenan.

Thursday, April 14, 2011

Hidup Itu Melukis, Bukan Menghitung

Tentang seorang ibu rumah tangga yang selalu membanding-bandingkan apa yang ia miliki dengan apa yang dimiliki oleh tetangga-tetangganya. Hidupnya tidak pernah tenang, selalu saja merasa tersaingi dan terkalahkan. Ia menghitung berapa mobil yang dimilikinya, ia menghitung berapa mobil yang dimiliki tetangga sebelah rumahnya. Ia menghitung berapa rumah dan suite apartemen yang dimilikinya, ia menghitung berapa rumah dan suite apartemen yang dimiliki tetangga depan rumahnya. Ia membandingkan investasi yang dikeluarkannya untuk suatu bisnis dengan investasi yang dikeluarkan tetangga belakang rumahnya untuk bisnis yang lain.

Melihat anak-anaknya, ia lalu membandingkan sekolah anak-anaknya tersebut dengan sekolah anak-anak tetangganya. Ia membusungkan dada, ia merasa sekolah anak-anaknyalah yang termahal. Ia memandang foto suaminya, ia telusuri dalam pikiranya relasi-relasi suaminya tersebut. Ia bandingkan dengan relasi para tetanganya. Segala sesuatunya ia hitung, ia bandingkan. Kadang ia merasa menang, kadang ia merasa kalah.

Sepertinya ia terjebak dalam konsep hitung-menghitung harta kekayaan. Terjebak pula dalam perbandingan matematis kehidupan. Padahal, hidup tidak melulu harta, hidup tidak melulu angka. Hidup ini bukan tentang siapa kita dan orang tua kita. Bukan tentang mobil apa yang kita gunakan ke pesta. Bukan tentang berapa dan di mana saja rumah kita. Bukan tentang siapa saja teman-teman kita. Bukan pula tentang seberapa mahal sekolah kita. Bukan tentang angka yang kita miliki di rekening kita. Bukan, bukan tentang itu semua.

Hidup adalah tentang bagaimana kita mengisi hari-hari kita dengan kebaikan. Bagai membuat suatu lukisan, hidup akan indah jika kita menorehkan tinta-tinta kebaikan ke atas kanvasnya. Hidup adalah tentang itu.

Saturday, April 9, 2011

Sejarah yang Mungkin Tidak Pernah Tercipta

Teman, waktu semakin merentang
menghadang pertemuan kita
Mengusik sedikit kerinduan yang terisolasi
Menipiskan lembar harapan perjumpaan
Walaupun tuk sekadar saling tersenyum
dan bertatap mata

Terakhir kali itu terjadi 2 tahun yang lalu
Perjumpaan tak terduga yang selalu kukenang

Asaku tak lebih banyak dari segenggam pasir
Tak lebih terang dari redupnya lilin
Hanya ingin melihat cahaya matamu
Membalas senyummu
Kemudian meyakini diriku sendiri
Bahwa kau, temanku, baik-baik saja

Sekarang, ketika waktu merentang semakin panjang
Menjauhkan asa yang tak lebih dari segenggam pasir itu
Semakin jauh dan menjauh
Sampai batas yang tidak seorang pun tahu

Teman, ku ingin kau tahu
Ada kerinduan yang tak ingin kurasakan
Karena kutahu,
Semakin kerinduan itu datang
Semakin ku menyadari diriku bersimpati
Padamu, teman


*Dibuat oleh saya, Rifka Nida Novalia, pada 8 Juli 2006, sebagai bagian dari Kuis "Seperti Janji Kita," yang saya ikuti. Postingan asli bisa dilihat di sini.