Showing posts with label Psychology. Show all posts
Showing posts with label Psychology. Show all posts

Tuesday, January 8, 2013

Qualitatif atau Quantitatif?

Mana yang lebih kamu suka, bekerja dengan powerpoint atau excel?
Pada suatu objek pengamatan, mana yang lebih dulu kamu perhatikan, keseluruhan gambaran suatu ide/ konsep atau jumlah total ide/ konsep tersebut?
Kata tanya apa yang lebih sering kamu tanyakan, mengapa atau berapa kali?
Apa yang lebih menarik perhatianmu, kata-kata atau angka?
Bagaimana caramu menyampaikan sesuatu, diplomasi atau langsung?
Coba jawab, kamu lebih suka mendefinisikan sesuatu atau menguji sesuatu?
Dalam bekerja, kamu pakai cara yang berbeda-beda atau itu-itu saja?
Kualitas atau kuantitas?


Friday, January 4, 2013

Aku Ingin Menjadi Laki-Laki Saja

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
Baginya menjadi perempuan adalah siksaan
Hinaan sepanjang kehidupan
Penderitaan penuh kekonyolan
Semuanya tidak menyenangkan

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
Tak ada lagi menstruasi setiap bulannya
Tak ada lagi nyeri yang disebabkan karenanya
Tak ada lagi kerepotan yang menjengkelkan karenanya
Tak ada lagi fluktuasi emosi karenanya
Semua itu tidak menyenangkan baginya

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
Laki-laki tidak merasakan sakit di malam pertamanya
Laki-laki tidak perlu meringis menahan sakit itu demi pencapaian sebuah kenikmatan

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
"Aku ingin terlahir kembali sebagai laki-laki"
Begitu kata klien pertamaku 

Sesi itu selesai pukul lima sore
Klien pertamaku pun berlalu
Ia kan kembali di waktu yang telah kami sepakati
Mungkinkah sebagai laki-laki?

...bersambung....
*hanyasebuahfiksi

Thursday, May 24, 2012

Dialog Dua Aku; Musim Gugur di Bandung

Aku:
Sejak kapan Bandung punya musim gugur?

Aku yang lain:
Itu pasti sejak dia meninggalkanmu.


Aku:
Dia tidak meninggalkanku, dia masih ada di gunung itu. Aku yakin sekarang dia sedang tidur.

Aku yang lain:
Aku tau, tidur untuk selamanya. Kau hadapilah kenyataan itu.


Aku:
Ga mungkin, pasti dia hanya tidur beberapa jam. Dia pasti terbangun kala mendengar jejak-jejak kaki tim pencari.

Aku yang lain:
Kau gila! Dia sudah mati!


Aku:
Kau yang gila, sejak kapan di Bandung ada musim gugur?

Aku yang lain:
Itu hanya untukmu, sejak pesawat itu jatuh, akal sehatmu pun jatuh. Kau meyakini hal yang ga mungkin terjadi, kau meyakini hal yang seharusnya kau ingkari. Harusnya kau yakin saja bahwa sekarang adalah musim gugur di Bandung.


Aku:
Kau benar-benar gila! Kau bilang aku gila, aku adalah kau dan kau adalah aku. Kalau aku gila, itu artinya kau juga gila!

Aku yang lain:
Aku? Gila? Hey, jelas-jelas aku beda dengan kau. Kita ada di satu tubuh, tapi sebenarnya hidup kita masing-masing. Aku adalah aku dan kau tetap kau. Ya, kau yang gila.


Aku:
Kenapa kau selalu mendebatku? Aku hanya meyakini apa yang kuyakini. Harusnya kau menghormati itu.

Aku yang lain:
Karena itulah fungsiku. Kalau aku ga ada, kau pasti lebih gila. Sudah, buang saja waham-waham yang kau yakini itu. Kembalilah ke dunia nyata. Dia sudah mati! Kekasihmu sudah mati! Kau lihat jasad-jasad dimasukkan ke dalam kantung mayat? Ada saatnya juga jasad kekasihmu dimasukkan ke sana, tunggu saja waktunya.


Aku:
Jasadnya ga akan pernah ada di kantung mayat itu, sebab kutahu dia hanya tertidur di belantara sana. Kala dia dengar langkah jejak-jejak si pencari, dia pasti kan terbangun dan kami pasti bertemu kembali di Bandung.

Aku yang lain:
Bagaimana kalau si pencari tak pernah menjejakkan kakinya di tempat kekasihmu terbaring?


Aku:
Dia akan tetap tertidur di sana sampai saatnya nanti dia terbangun dan kami pasti bertemu kembali.

Aku yang lain:
Gila!

*turut berduka cita atas peristiwa tragis yang terjadi pada pesawat Sukhoi Superjet 100

Wednesday, August 17, 2011

Napak Tilas Bandung dan Jatinangor

Terinspirasi dari posting Gaphe yang berjudul Hal Gila, saya jadi pengen nulis ini. Jumat pagi pekan lalu, terjadilah percakapan kecil antara saya dan suami saya. Waktu itu saya udah rapi pake pakean kerja, sementara suami saya masih terlelap.

Saya: "Hon, bangun, Hon, udah hampir jam tujuh, nanti kamu telat."
Suami: "Eh, aku belum bilang ya, hari ini aku ga masuk, ga enak badan."
Saya: "What? Trus aku gimana dong?" Saya pegang keningnya emang panas.
Suami: "Aku anter kamu sampe stasiun ya?"
Saya: "Ya udah deh, boleh."

Habis tu suami saya bangun dan mandi. Keluar dari kamar mandi keliatan segeran.
Suami: "Hari ini aku mau ke Bandung, Hon."
Saya: "Hah, ngapain? Ikut dong!"
Suami: "Liat ......(dia sebut sesuatu untuk mobil) di daerah Margahayu. Kamu ga ada kerjaan di kantor?"
Saya: "Wah, deket tuh dari Jatinangor. Ikut yah? Nanti kita mampir bentar ke kampusku dan kosanku dulu. Aku ga ada yang urgent koq di kantor, minggu depan baru seminggu ga boleh ga masuk. Ikut ya, Hon? Aku kan bisa jadi penunjuk jalan. Yah?"
Suami: "Ya udah, trus kamu bilang apa sama bos kamu?"
Saya: "Ah gampang....Eh, tapi kamu bilang tadi kamu ga enak badan?"
Suami: "Kalo ke kantor ga enak badan, tapi kalo ke Bandung nggak koq, Hon."
Saya: "Ih, nakal"

Ya udah akhirnya hari itu kami berdua sama2 bolos kerja. Niatnya, suami saya ke Bandung itu besoknya, hari Sabtu, tapi entah kenapa spontan aja dia membelokkan rencananya. Lebih gila lagi saya, ikut2an bolos, spontan aja pengen ikut. Jadilah kami ke Bandung dan Jatinangor.

Kami lewat jalur parung, bogor, puncak, cianjur, cimahi untuk sampai ke Bandung. Wuih, menyenangkan sekali rasanya jalan-jalan pagi ke bandung lewat jalur ini. Jalanan relatif sepi, jadi kami bisa menikmati saat-saat santai ini. Nyampe di daerah Padalarang, spontan aja saya bilang ke suami untuk ngunjungin kerabat keluarga saya yang tinggal di sini. Mampir sebentar, trus cabut lagi nerusin perjalanan.

Nah, pas di rumah kerabat inilah suami saya nunjukin alamat yang dicarinya. Hohohoooo.....ternyata bukan daerah Margahayu, tapi komplek Margahayu Permai di daerah Kopo. Hahahaha.....saya langsung ketawain dia yang sok tahu itu. Cari-cari akhirnya saya liat ada gapura dengan satu tulisan, trus dengan PDnya saya bilang ke suami saya, "Hon, tuh dia Margahayu Permainya!" Dengan girang saya menunjuk ke arah Gapura itu. Hehehe...ternyata tulisannya bukan Margahayu, tapi Dirgahayu ;p Gantian suami saya yang ngakak ngetawain saya yang sok tahu ;p

Singkat cerita, sampailah kami di alamat yang dimaksud. Selama perjalanan itu, suami saya beberapa kali terheran-heran dengan cuaca yang panas di daerah Kopo ini.
"Ini Bandung, Hon?" Tanyanya.
"Bukan, ini Bekasi," jawab saya ngasal.
"Oh, pantesan," katanya lagi.
"Ya bukanlah, ini juga Bandung, Hon. Cuma emang daerah sini panas," imbuh saya.
"Yeee....kirain bener ini kita lagi ada di Bekasi?" kata suami saya ngeledek, saya cuma tepok jidat aja deh.
***

Selesai urusan mobil, saya langsung todong suami saya untuk nganter saya ke Jatinangor.
"Dari prapatan Kopo yang tadi tinggal lurus doang koq, Hon. Yah?"
Suami saya karena orangnya asik-asik aja akhirnya dia nganterin saya deh ke Jatinangor.

Sampe di Jatinangor, saya bener2 bingung. Well, sekian tahun ga ke sini banyak banget perubahannya. Tata kotanya, jalan-jalannya, dan terlebih lagi kampus saya tercinta, berubah banget, jadi makin keren!!!! Dan saya pun berhasil membuat suami saya mengakui bahwa kampus saya ini memang keren hehehehe.....

Oya, sebelum sampe di kampus saya ini, kami melewati sebuah institusi pemerintahan yang pada beberapa tahun silam sempat membuat heboh dunia pendidikan dengan beberapa kasusnya. Well, sekarang dan dulu memang beda. Meski di gerbang kampus ini masih berdiri dua praja perempuan dan laki-laki di sisi kanan dan kirinya, ga keliatan lagi kemegahan yang dulu saya pernah liat di kampus ini. Melewati gerbang ini suami saya meletakkan tangannya di sekitar alis memberi gesture hormat. Saya bilang, "Apa2an sih kamu, Hon?" Hmmm.....suami saya ini emang asik banget deh, gokil. Love u so much, Hon!

Lalu kami masuki gerbang kampus saya, kami susuri jalan-jalannya sambil saya mengingat-ingat scene-scene yang pernah ada di jalan-jalan ini. Udaranya masih seperti dulu, sama ketika bertahun-tahun lalu saya menuntut ilmu di sini. Kami lihat muda mudi berpakaian serupa. Ada yang hitam putih, ada yang berpakaian kemeja kotak-kotak, ada yang berjaket hijau. Saya tersadar, ini masanya orientasi mahasiswa baru kepada kampusnya. Saya seperti melihat bayangan diri saya 12 tahun silam.

Sampailah kami di kampus Psikologi, kampus saya tercinta. Ga banyak kata yang bisa saya ucapkan. Saya cuma bisa menyapu seluruh area kampus ini dengan pandangan mata saya. Kanan, kiri, depan, belakang, atas, bawah, semuanya indah. Imaji-imaji masa silam berdatangan. Ingin saya ceritakan semua yang pernah ada di sini dahulu, tapi saya ga sanggup. Ada jutaan cerita tercipta di sini, hingga saya berdiri kembali di sini.

Karena waktu kami terbatas, saya ga sempat ambil gambar kondisi kampus saya. Saya hanya benar-benar menikmati suasananya ketika itu. Dua belas tahun lalu, kali pertama saya menginjakkan kaki di sini. Dua belas tahun yang akan datang saya tidak tahu akan bagaimana. Wallahu a'lam.

Kami lalu pergi, berniat meneruskan perjalanan ke kosan saya dulu. Saya tinggalkan kampus saya dengan kesukaan dan senyuman. Mengingat-ingat kenangan yang pernah ada. Kenangan-kenangan itu indah karena ia tidak bisa terulang.

Sore itu setelah mampir ke kosan saya dan menjenguk ibu dan bapak kosan, kami kembali ke Pamulang dengan damai. Saya dan suami saya sekarang menatap masa depan ;)

*ups, mudah2an bos saya dan bos suami saya ga baca postingan ini ya....

Sunday, August 14, 2011

Bangku-Bangku Kenangan

Bangku-bangku itu tak melepaskan pandangannya dariku
Mereka seperti keheranan, siapa gerangan aku?
Tanah yang kuinjak kemarin pun mengejutkanku
Dengan sentuhan telapaknya di mata kakiku
Mereka seolah-olah bertanya, "siapa dirimu?"

Papan bertuliskan satu nama jurusan bersiap siaga
Seolah-olah aku hendak mengganggu kenyamanannya
Seluruh jendela bangunan yang ada terlihat bingung
Hendak menyapaku atau tidak

Ada lapangan-lapangan tempat muda mudi bermain bola
Ada area tempat kendaraan-kendaraan berteduh beristirahat
Ada pohon-pohon yang berisik dan berbisik
Ada udara pegunungan berpadu sengatan mentari yang hangat

Kembali aku di sini, di suatu tempat penuh kenangan
Ketika buku, pesta, dan cinta pernah meraja di kehidupanku
Ketika bulir-bulir peluh berpadu renyah canda tawa
Semua terangkum dalam satu masa muda

Masih dapat kulihat siapa saja yang biasa ada di sana
Kulihat pula siapa saja yang biasa ada di sini
Kudengar sapaan-sapaan hangat memanggil namaku
Kuterduduk di tempat itu, sekali lagi saat ini

Ya Tuhan, semua terasa indah sangat
Napak tilas ini menjadi penghangat jiwaku kini
Menjadi penyemangatku meraih masa depan
Mendorongku segera berlari meraih mimpi

Dua belas tahun lalu kali pertama kumenapak
Lima tahun lamanya kumenjejak
Mengukir cita dan cinta penuh cerita
Hingga kini kuberdiri menatap langit nan cerah

Dulu, kini, atau nanti
Semua kisah selalu terpatri
Tidak hanya di bangku-bangku kenangan itu
Namun juga di hati

Kulangkahkan kakiku pergi
Meninggalkan ukiran sisa-sisa masa lalu
Kutatap mentari senja, kuhirup udara indah ini
Segera kuberlari, menyongsong pagi

Seberapapun lama kau kutinggalkan
Hatiku selalu ada untukmu

*hasil napak tilas ke bandung dan jatinangor jumat kemarin

Thursday, July 21, 2011

Training yang Menyenangkan!

Alhamdulillah, sesi training kemarin berjalan dengan lancar. Dunia training memang bukan hal baru buat saya. Waktu kuliah dulu, di salah satu mata kuliah, meskipun secara singkat saya mempelajari hal itu. Terus, pekerjaan pertama saya adalah menjadi bagian dari konsultan manajemen yang notabene banyak ngadain training. Sekarang, salah satu kerjaan saya di kantor pun ga jauh-jauh dari urusan training. Ini catatan mengenai training yang kemarin saya (dan tim saya) berikan untuk mitra kami.

Training diawali dengan sebuah perkenalan kecil. Peserta diminta menyebutkan nama dan sesuatu yang khas dari dirinya. Saya beri contoh, saya adalah Rifka Beng Beng karena saya suka sekali Beng Beng. Setelah itu barulah para peserta secara bergantian memperkenalkan dirinya dengan cara tersebut. Mereka lalu menyebutkan satu atau dua kata di belakang nama mereka, yang khas dari mereka. Di luar dugaan, cara ini benar-benar mencairkan suasana dan lebih jauh, kami dapat mengetahui hal lain dari diri peserta.

Berikutnya, peserta kami bagi menjadi dua kelompok (kelompok A dan kelompok B) dan kami berikan satu lembar kertas A3 dan beberapa buah crayon. Masing-masing kelompok saya minta untuk membuat gambar dengan instruksi tertentu. Kepada masing-masing anggota kelompok A, kami minta untuk memikirkan satu buah objek untuk digambar. Kepada kelompok B saya minta mereka mendiskusikan sebuah objek untuk digambar. Cara menggambarnya adalah bergantian. Jadi, setelah waktu untuk memikirkan gambar bagi kelompok A dan waktu untuk mendiskusikan gambar untuk kelompok B selesai, saya minta orang pertama dari masing-masing kelompok untuk mulai menggambar dalam waktu tertentu. Setelah waktu habis, gantian, giliran peserta lain untuk menggambar.

Hasilnya tentu beda untuk kedua kelompok ini. Dari hasil gambar tersebut, saya minta mereka untuk menyampaikan kesan mengenai kedua gambar tersebut. Apa saja yang ada di kepala mereka, saya persilakan untuk diungkapkan. Kemudian, saya gali pendapat mereka tentang apa yang sebenarnya mereka lakukan dan saya arahkan sesi diskusi gambar ini ke arah peran masing-masing anggota kelompok. Semua pernyataan berujung ke satu muara, yaitu peran inti mereka.

Berikutnya kami masuk ke materi lain yaitu tentang pentingnya arti sebuah senyuman, penghargaan, dan motivasi. Kalau tadi di awal kami menyampaikan materi melalui gambar, kali ini kami menampilkan potongan sebuah video. Video ini menceritakan seorang petugas validasi karcis parkir yang luar biasa. Setiap orang yang datang kepadanya selalu diberinya senyuman dan pujian yang objektif. Ia selalu bisa melihat hal positif dari orang yang ditemuinya. Efeknya, bukan saja orang-orang menjadi senang karena dipuji, tetapi juga ia jadi memiliki antrian yang sangat panjang. Antrian untuk mendapatkan cap validasi sekaligus senyum dan pujian gratis. Sebaliknya, ketika ia berhenti melakukan itu, orang-orang pun kembali sedih, lesu, tidak termotivasi, dan pergi meninggalkannya.

Sama seperti sesi gambar, para peserta saya minta untuk mengungkapkan apa saja yang terlintas di pikiran mereka. Satu persatu para peserta berbicara dan akhirnya tersampaikanlah pesan yang kami maksud. Bukan dari kami, tapi dari mereka sendiri. Jadi, melalui potongan video ini mereka dapat menyadari betapa pentingnya sebuah senyuman dan pujian.

Materi berikutnya kami sampaikan dengan cara roleplay. Kami menciptakan suatu situasi dan kondisi tertentu untuk roleplay ini, lalu kami minta para peserta untuk meresponnya dengan cara masing-masing. Ketika peserta menunjukkan hal yang benar, kami biarkan ia menyelesaikan apa yang dilakukannya. Ketika peserta melakukan hal yang salah, kami tunjukkan cara kami, cara yang seharusnya. Setelah roleplay selesai, kembali, sesi diskusi merupakan sarana paling tepat untuk menggali perasaan dan pemikiran mereka tentang apa yang baru saja mereka saksikan dan mereka lakukan.

Sudah tiga materi kami sampaikan. Sesi akhir adalah sesi mini quiz. Kami meminta peserta mengisi selembar kertas yang isinya adalah beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan materi-materi yang sudah mereka terima. Ini penting, untuk mengetahui sejauh mana penyerapan mereka akan materi yang sudah kami sampaikan. Mini quiz ini ditutup dengan pembahasan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut dan juga pemberian hadiah bagi tiga peserta dengan nilai tertinggi.

Sebelum ditutup, kami minta salah seorang peserta mengulas lagi secara singkat apa saja yang sudah dilakukan dan dipelajari dari pagi hingga siang kemarin, sepanjang sesi training. Dengan begitu, saya yang hari itu kebagian tugas sebagai fasilitator, tidak perlu merangkum hasil training hari itu. Semua materi disampaikan dengan simulasi, tanpa slide sama sekali. Yup, sebab konsep training kami hari itu adalah learning is fun. Terakhir, kami berikan kenang-kenangan untuk dua peserta aktif, sebagai bentuk penghargaan kami kepada mereka.

Nah, tidak selamanya training itu membosankan kan? Karena belajar itu haruslah menyenangkan!

Sunday, July 10, 2011

Stop Penggunaan Kata Autis Sebagai Olok-Olokan

Saya pikir saya harus menuliskan ini; tentang arti sebuah kata, autis. Berawal dari seringnya saya mendengar orang-orang menyebut kata autis sebagai satu candaan atau bahan olok-olokan di antara kita. Entah itu dalam percakapan sehari-hari atau dalam komentar-komentar di dunia maya. Saya jadi gerah dibuatnya.

Saya yakin, kata autis yang digunakan sebagai bahan candaan itu berasal dari kata autisme. Lalu, apa arti kata autisme itu sendiri? Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitif, aktivitas, dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993).

Jadi, autisme bukanlah penyakit, melainkan suatu kondisi. Bukan penyakit, melainkan suatu gangguan perkembangan yang terjadi pada seorang individu. Saya tidak akan membahas autisme secara detil dan ilmiah. Melalui tulisan ini, saya hanya mengimbau teman-teman untuk tidak lagi menggunakan kata autis sebagai bahan olok-olokan. Stop!

Secara umum, orang-orang memandang penderita autis adalah orang yang sibuk dengan dunianya sendiri, tidak bisa bersosialisasi, tidak bisa berkomunikasi dengan lingkungannya. Ya, sebagian pandangan itu benar. Akan tetapi, pernahkah terpikir oleh teman-teman bahwa mereka tidak pernah mau dilahirkan dengan kondisi seperti itu? Suatu kondisi yang kita anggap beda dengan kebanyakan kita. Suatu kondisi yang pelik dan terkadang sulit dipahami oleh sebagian besar kita juga.

Pernahkah teman-teman memposisikan diri sebagai orangtua anak dengan autisme? Tahukah teman-teman perasaan mereka? Sekali-kali teman-teman tempatkanlah diri teman-teman di posisi mereka. Sekali saja, resapi. Saya yakin, setelah itu teman-teman tidak akan menggunakan lagi kata autis sebagai bahan candaan atau olok-olokan.

Sedikit saja saya ulas, bahwa autisme sendiri masih menjadi perbincangan di kalangan ilmu-ilmu terkait. Berbagai teori tentang penyebab dan pengobatan (terapi) masih sering diperbincangkan. Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya gangguan dalam enam bidang yaitu:
1. interaksi sosial
2. komunikasi (bahasa dan bicara)
3. perilaku-emosi
4.pola bermain
5.gangguan sensorik-motorik, dan
6.terlambatnya perkembangan.

Kita tahu, kebanyakan anak-anak dengan autisme menyukai suatu pola repetitif tertentu. Misalnya, duduk sambil memajukan dan memundurkan badannya berulang-ulang, tiada henti memutar-mutar jarinya di dalam gelas, atau perilaku berulang lainnya. Selain itu, mereka kadang terikat pada suatu perilaku obsesif. Misalnya, suka sekali mengurutkan mainannya menjadi suatu barisan, menempatkan segala sesuatunya pada tempat-tempat tertentu dan tidak boleh berubah, atau dalam kegiatan makan memiliki pola urutan tertentu yang tidak boleh diganggu. Apabila dua bentuk perilaku tersebut (repetitif dan obsesif) terganggu, bisa jadi anak-anak ini marah dan tidak terkendali emosinya. Selain itu, kesulitan berkomunikasi yang mereka alami menyebabkan mereka seperti terisolasi dalam dunianya sendiri.

Orangtua mana yang tidak sedih melihat kondisi anaknya seperti itu? Jadi, alih-alih membuat hal ini semakin buruk, lebih baik kita sama-sama sosialisaikan hal ini; stop penggunaan kata autis sebagai bahan olok-olokan. Saya dengan jaringan saya, teman-teman dengan jaringan teman-teman. Jika satu orang menyebarkan hal ini ke sekian banyak orang lain, semoga semakin banyak orang yang menghentikan kebiasaan buruk ini. Dengan demikian, kita telah berempati kepada sesama. Kita telah berbuat baik kepada mereka.

Lalu, kenapa tidak kita mulai dari sekarang?


Friday, July 1, 2011

Nothing's Wrong....

"Teteh..."

Suara lemah diiringi sesenggukan di seberang sana memecahkan kesunyian di kamar tidur saya beberapa hari yang lalu. Siang itu saya baru saja menemani anak-anak saya tidur siang. Ketika baru saja saya ingin terlelap juga, terdengarlah getaran ponsel yang berada tidak jauh dari tempat saya berbaring. Saya angkat dan jawab panggilan tersebut, lalu inilah yang berikutnya saya dengar.

"Aku dimaki-maki di depan orang banyak, Teh. Aku dibilang bego karena ga tau bersopan santun. Aku dibilang berubah, dibilang introvert. Terakhir, aku disuruh ke Prof. Kania (bukan nama sebenarnya), Teh. Aku disuruh periksa dan konsultasi ke beliau."

Seorang teman lama yang sekarang sedang mengambil spesialis di salah satu universitas di Yogyakarta. Baru saja ia memasuki semester dua, namun nampaknya ia mengalami stres yang luar biasa. Saya dengarkan masalahnya. Lama juga ia berbicara, sebagian besar keluh kesah, sebagian lain pertanyaan-pertanyaan yang tentu ia sangat ingin tahu jawabannya.

Dalam pandangan saya, permasalahan yang dia hadapi sebenarnya adalah bukan masalah kuliahnya, tapi pergaulannya. Kalau meminjam istilah yang lebih ilmiah, saya sebut itu sosialisasi. Sekarang coba teman-teman cermati kalimat yang teman saya ucapkan di atas, "Aku dimaki-maki di depan orang banyak, Teh. Aku dibilang bego karena ga tau bersopan santun. Aku dibilang berubah, dibilang introvert. Terakhir, aku disuruh ke Prof. Kania, Teh. Aku disuruh periksa dan konsultasi ke beliau."

Kalau teman-teman sadari, kalimat itu muncul bukan karena teman saya tidak bisa mengikuti kuliahnya kan? Tapi lebih karena masalahnya dengan lingkungan. Disadari atau tidak, kadang kala hal-hal yang menghambat keberhasilan kita adalah hal-hal di luar hal utama. Untuk contoh teman saya ini, yang menghambat kelancaran kuliahnya adalah bukan karena ia tidak bisa mengikuti mata kuliah-mata kuliah di kampusnya, tetapi lebih kepada hal hubungan dengan orang lain.

Apa pentingnya orang lain bagi diri teman saya ini? Tentu sangat penting. Sebagai seorang dokter dan calon dokter spesialis, orang-orang sangat penting bagi dirinya. Nanti, ia akan bertemu dengan banyak orang. Pasien, keluarga pasien, dokter-dokter senior, dan masih banyak lagi orang yang akan ia temui. Orang-orang itu tentu punya karakter yang berbeda-beda bukan? Di sinilah pentingnya kemampuan interpersonal seorang dokter (dalam kasus ini khusus saya bahas tentang dokter). Lalu, apa sih kemampuan interpersonal itu? Kemampuan interpersonal adalah kemampuan seseorang menjalin hubungan dengan orang lain.

Tentang dirinya yang dikatakan introvert oleh seniornya. Saya tanya teman saya itu, "What's wrong for being introvert?" Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan orang yang introvert. Sama halnya tidak ada yang salah dengan orang yang ekstrovert. Hanya saja, setelah saya gali lebih jauh mengapa seniornya mengatakan dia introvert seolah-olah bahwa introvert itu tidak baik, ternyata satu, kemungkinan besar seniornya tidak ingin ia terlalu kaku dalam menangani pasien. Terlalu terpaku pada penyakitnya tanpa peduli dengan orang di sekitar pasien itu, misalnya keluarganya. Benar toh, pasti keluarga akan butuh penjelasan dari sang dokter. Jika dokter bersikap terbuka, tentu pihak keluarga pun akan lebih merasa tenang dan senang. Jadi, sekali lagi, bukan introvert atau ekstrovert yang salah, tapi maksud sang senior adalah pandai-pandailah berlaku kepada orang lain.

Kemudian tentang rujukan untuk ke Prof. Kania. Prof. Kania adalah dosen saya. Dosen senior di kampus saya, menangani permasalahan-permasalahan klinis. Kalau teman-teman tahu, psikologi memang dibagi-bagi menjadi beberapa sub disiplin ilmu, salah satunya adalah psikologi klinis. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, tidak usah takut datang ke psikolog. Psikolog juga manusia =p

Hmm...begini, 10-15 tahun lalu profesi psikolog memang dianggap sempit ruang lingkupnya. Profesi ini belum populer di kalangan masyarakat Indonesia kala itu. Orang-orang yang datang ke psikolog akan dicap sebagai orang gila. Oh tidak...tidak...sebenarnya bukan itu. Orang-orang yang datang ke psikolog tidak semuanya gila. Teman-teman pun tidak akan menjadi gila karena datang ke psikolog.

Sederhananya, psikolog adalah orang yang mempelajari ilmu perilaku secara mendalam. Untuk mendukung kemampuannya menganalisa perilaku orang-orang, para psikolog menggunakan alat-alat tes psikologi. Sama seperti dokter, alat-alat tes ini membantu psikolog mendapatkan data-data valid yang diperlukan. Jadi, apa yang diucapkan para psikolog sebenarnya ada landasan keilmuannya, bukan semata-mata hasil penerawangan.

Kembali ke persoalan teman saya tadi. Ia dirujuk ke psikolog bukan karena ia 'sakit.' Menurut saya, ia hanya perlu bicara dengan orang yang lebih mengerti akan apa yang terjadi pada dirinya, pada situasi dan kondisi yang melingkupinya saat ini. "Prof. Kania sebagai psikolog pasti akan membantumu menemukan masalahmu. Jadi, ikuti saja sarannya. Percaya deh!" Saya katakan seperti itu kepadanya.

Saya katakan, ia tidak sendiri. Bukan ia satu-satunya orang yang mengalami hal ini (diperlakukan seperti apa yang saya ceritakan di atas). Saya katakan padanya, "Mungkin saja ini cara seniormu menggembleng kamu. Supaya kamu lebih kuat. Sebab, yang akan kamu hadapi nanti bukan hanya satu dua kasus. Yang akan kamu temui bukan hanya satu dua orang. Banyak. Banyak yang akan kamu temui. Kalau karena kerikil kecil saja kamu udah nyerah, kamu ga akan bisa surive. Bukan karena kamu tidak pintar, tapi karena hal-hal seperti ini. Sayang kan? Kamu pasti bisa melalui ini semua."

Ya. Secara umum, senioritas masih banyak berlaku di sistem pendidikan kita. Salah satunya di lingkup pendidikan dokter spesialis ini. Saya tidak tahu bagaimana sistem pendidikan di profesi teman-teman. Apakah sama? Atau berbeda? Yang jelas, dari keseluruhan pembahasan ini, saya ingin menyampaikan dua hal yaitu:
- berpikir positif
- kembangkan kemampuan interpersonal.

Kalau ada nilai lain yang bisa teman-teman tangkap dari ulasan saya ini, alhamdulillah.

Wallahu a'lam.






Tuesday, August 17, 2010

POLISI SPELLING, "Hati-Hati, Nanti Saya Tilang!"

Di suatu sesi chat bersama seorang teman kuliah, saya ditanya, "apa yang membuat saya suka menulis?" Saya jawab, "Mata kuliah psikodiagnostika." Ya, di strata satu, ada sembilan mata kuliah psikodiagnostika yang kami pelajari, dengan beban SKS yang berbeda-beda. Mata kuliah itu menuntut kami untuk membuat laporan tentang hasil observasi dan analisa kami tentang suatu obyek atau subyek yang jadi bahan penelitian kami. Sepertinya kami benar-benar ditempa untuk bisa membuat laporan yang "Pas." Pas artinya sesuai dengan tujuan mata kuliah itu, sesuai dengan kaidah-kadiah penulisan laporan psikologi, sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia, dan mungkin pas dengan selera dosen (hoho...yang satu ini tidak koq).

Biasanya, salah bahasa sedikit saja, kami diminta untuk memperbaiki. Pemilihan kata yang kurang tepat bisa menimbulkan arti yang berbeda, sehingga khawatir akan diterjemahkan berbeda dengan siapapin yang membaca laporan kami. Yah...saking ketatnya hal seperti ini diberlakukan di kampus kami, sampai-sampai seorang teman yang kebetulan istrinya kuliah di tempat yang sama dengan saya mengatakan tidak habis pikir mengapa dosen-dosen kami memperlakukan kami seperti itu. Hmm...pasti ada maksudnya ya. Maksudnya antara lain melatih kepekaan kami akan rasa bahasa, bahwa setiap kata punya makna sendiri yang bisa diterjemahkan berbeda oleh setiap individu yang membaca. Untuk itu, perlu kehati-hatian dalam memilih kosa kata yang akan ditulis di laporan atau yang akan disampaikan ke klien, agar tidak terjadi salah interpretasi. Karena, setiap kalimat yang tertulis sangat berarti bagi kami dan klien. Itu pula sebabnya laporan-laporan kami bersifat konfidensial.

Kebiasaan kuliah ini terbawa sampai saya bekerja. Sampai-sampai oleh beberapa teman saya disebut polisi spelling. Sebagai polisi spelling biasanya saya mengedit beberapa tulisan. Ada-ada saja, padahal, tidak ada yang sempurna kan ya? Saya juga bisa salah. Tapi itulah, setiap orang punya keunikan, peran, dan keunggulan masing-masing. Kebetulan saja saya di antara teman-teman menjadi polisi spelling. Jadi, hati-hati ya...kalau ada salah kata, nanti saya tilang lho! ^_^