Baiklah, saya mulai. Saya dan suami saya lahir dan tumbuh di daerah padat di tengah Kota Jakarta. Kalo ga boleh dibilang tau banget, bolehlah kami dibilang tau banyak tentang perkembangan kota ini sejak era 80-an sampai sekarang. Kamilah salah satu contoh generasi kampung yang saya maksud di atas. Sebaliknya, anak-anak kami tumbuh dan berkembang di tengah komplek perumahan di pinggiran Kota Jakarta. Meski mereka lahir di salah satu rumah sakit di tengah Kota Jakarta, tapi tetap saja, saya menganggap mereka salah satu contoh dari generasi komplek.
Memang apa bedanya? Apa juga istimewanya dua generasi ini sampai saya nulis satu postingan tersendiri? Kalo dibilang beda, ya beda banget. Dibilang istimewa, ya istimewa juga karena saya terinspirasi bikin postingan ini gara-gara saya dan keluarga untuk sementara bergabung bersama generasi kampung yang ada di belakang perumahan tempat kami tinggal.
Dua minggu lalu, kami mulai sedikit membenahi rumah kami dan kegiatan bebenah rumah itu mengharuskan kami 'mengungsi' untuk sementara waktu. Yup, di sinilah kami sementara mengungsi, di kampung belakang rumah kami.
![]() | ||
Que Sera Sera...bebenah rumah. |
![]() |
Hayooo...rumah yang saya kontrak yang mana? |
Balik lagi ke istilah generasi kampung dan generasi komplek. Generasi kampung biasanya menghabiskan masa kecilnya dengan banyak main bersama teman-teman sekampungnya. Paling nggak, mereka kenal dengan teman-teman sekampung mereka. Beda dengan generasi komplek, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di institusi formal seperti sekolah dan berbagai tempat kursus. Para orang tua generasi kampung biasanya saling kenal. Generasi komplek? Sebagai gambaran, saya pernah mewawancarai seseorang yang ternyata tetangga saya sendiri, cuma beda beberapa blok doang. Saya juga pernah mendapati dua di antara para peserta training saya adalah tetangga saya, salah seorang di antaranya juga tinggal beberapa blok doang dari rumah saya. Well, mungkin saya aja kali ya yang ga gaol. Tapi begitulah gambarannya, senin sampai jumat kami warga komplek pergi pagi dan balik lagi ke rumah malam hari. Sabtu minggu cape', kebanyakan dipake buat istirahat atau buat main sama anak-anak. Pertemuan warga sekali dalam sebulan, jarrrraaaang banget kami ikuti. Alhasil ya cuma tetangga satu blok aja yang kami kenal banget.
Karena ga semua perlengkapan rumah tangga kami bawa ke rumah petak di perkampungan ini, kami belajar menyiasati keadaan dengan fasilitas yang terbatas. Kami belajar dan mengajarkan anak-anak bertoleransi, misalnya ketika mereka ribut berteriak-teriak atau gedombrangan sementara di rumah sebelah rumah yang kami tinggali ada bayi yang sedang tidur pulas. Kami juga belajar ikhlas dari tetangga kami, terinspirasi dari si babeh yang rajin banget ngebersihin teras rumah orang-orang di sini, termasuk rumah yang kami tinggali. Belajar saling membantu juga dari pertolongan tetangga yang ngangkatin jemuran kami ketika hujan turun dan si mbak lagi nganter anak-anak ke tempat les piano mereka.
Sebagai generasi kampung, kami belajar dan mengajarkan anak-anak kami itu semua.