Showing posts with label Life. Show all posts
Showing posts with label Life. Show all posts

Monday, February 3, 2014

Generasi Kampung vs Generasi Komplek

Sebelum Anda meneruskan membaca postingan ini, mohon dicamkan bahwa saya ga bermaksud mengaggap salah satu generasi yang saya sebut di atas (judul) lebih baik dari generasi lainnya. Okay?

Baiklah, saya mulai. Saya dan suami saya lahir dan tumbuh di daerah padat di tengah Kota Jakarta. Kalo ga boleh dibilang tau banget, bolehlah kami dibilang tau banyak tentang perkembangan kota ini sejak era 80-an sampai sekarang. Kamilah salah satu contoh generasi kampung yang saya maksud di atas. Sebaliknya, anak-anak kami tumbuh dan berkembang di tengah komplek perumahan di pinggiran Kota Jakarta. Meski mereka lahir di salah satu rumah sakit di tengah Kota Jakarta, tapi tetap saja, saya menganggap mereka salah satu contoh dari generasi komplek.

Memang apa bedanya? Apa juga istimewanya dua generasi ini sampai saya nulis satu postingan tersendiri? Kalo dibilang beda, ya beda banget. Dibilang istimewa, ya istimewa juga karena saya terinspirasi bikin postingan ini gara-gara saya dan keluarga untuk sementara bergabung bersama generasi kampung yang ada di belakang perumahan tempat kami tinggal.

Dua minggu lalu, kami mulai sedikit membenahi rumah kami dan kegiatan bebenah rumah itu mengharuskan kami 'mengungsi' untuk sementara waktu. Yup, di sinilah kami sementara mengungsi, di kampung belakang rumah kami.

Que Sera Sera...bebenah rumah.

Ada banyak cerita pastinya dan kalau saja semua cerita bisa diwakili gambar, pasti penuhlah instagram saya :) *ganyambung. Yang paling menonjol dari kehidupan di sini adalah toleransinya. Sebagai penghuni salah satu rumah petak di sini, saya harus punya toleransi yang tinggi terhadap apa yang terjadi di sekeliling saya. Misalnya, ketika meteran listrik tetangga saya bunyi terus sepanjang hari karena pulsanya hampir habis sementara saya lagi nyut-nyutan sakit kepala karena sakit gigi, fyuh, luar biasa deh! Selain itu ada banyak hal juga yang saya ubah selama tinggal di sini, demi menjaga stabilitas rukun tetangga :) 
Hayooo...rumah yang saya kontrak yang mana?
Terlepas dari itu semua, saya pribadi dan anak-anak juga senang tinggal di sini. Gimana nggak, anak-anak jadi lebih sering jajan karena tetangga kami di sini buka warung jajanan :) hehhee.... bukan karena itu aja sih. Di sini, mereka lebih dekat ke tempat mengaji. Jadi, selama di sini mereka pergi dan pulang sendiri untuk mengaji. Mereka ga tau aja tuh si mbak pengasuh mereka ngikutin kalo mereka berangkat ngaji dan ngawasin mereka kalo udah waktunya pulang ngaji. Mereka bangga banget deh bisa pergi pulang sendiri. Berasa udah gede Kali ya hahahhaa.....:)

Balik lagi ke istilah generasi kampung dan generasi komplek. Generasi kampung biasanya menghabiskan masa kecilnya dengan banyak main bersama teman-teman sekampungnya. Paling nggak, mereka kenal dengan teman-teman sekampung mereka. Beda dengan generasi komplek, mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka di institusi formal seperti sekolah dan berbagai tempat kursus. Para orang tua generasi kampung biasanya saling kenal. Generasi komplek? Sebagai gambaran, saya pernah mewawancarai seseorang yang ternyata tetangga saya sendiri, cuma beda beberapa blok doang. Saya juga pernah mendapati dua di antara para peserta training saya adalah tetangga saya, salah seorang di antaranya juga tinggal beberapa blok doang dari rumah saya. Well, mungkin saya aja kali ya yang ga gaol. Tapi begitulah gambarannya, senin sampai jumat kami warga komplek pergi pagi dan balik lagi ke rumah malam hari. Sabtu minggu cape', kebanyakan dipake buat istirahat atau buat main sama anak-anak. Pertemuan warga sekali dalam sebulan, jarrrraaaang banget kami ikuti. Alhasil ya cuma tetangga satu blok aja yang kami kenal banget.

Karena ga semua perlengkapan rumah tangga kami bawa ke rumah petak di perkampungan ini, kami belajar menyiasati keadaan dengan fasilitas yang terbatas. Kami belajar dan mengajarkan anak-anak bertoleransi, misalnya ketika mereka ribut berteriak-teriak atau gedombrangan sementara di rumah sebelah rumah yang kami tinggali ada bayi yang sedang tidur pulas. Kami juga belajar ikhlas dari tetangga kami, terinspirasi dari si babeh yang rajin banget ngebersihin teras rumah orang-orang di sini, termasuk rumah yang kami tinggali. Belajar saling membantu juga dari pertolongan tetangga yang ngangkatin jemuran kami ketika hujan turun dan si mbak lagi nganter anak-anak ke tempat les piano mereka.

Sebagai generasi kampung, kami belajar dan mengajarkan anak-anak kami itu semua.

Tuesday, December 31, 2013

Catatan Perjalanan Terakhir

Ini catatan terakhir yang saya buat di tahun 2013. Setelah saya berhasil melalui tahun 2012, maka setengah dari tahun ini saya benar-benar ditempa di segala aspek dalam kehidupan profesional saya. Ga kurang sisi emosional saya juga terkuras menghadapi berbagai situasi sulit, hingga akhirnya saya menemukan titik balik. Berat memang, tapi saya bersyukur mengalami itu semua. Saya pikir, saya menjadi lebih kuat sekarang. 

Sebentar lagi tahun 2013 akan bergulir, berganti menjadi tahun 2014. Ga ada lain yang saya harapkan di tahun depan selain saya menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih kuat lagi karena tempaan tidak akan pernah berhenti, hanya bentuknya saja yang berbeda. Bukan hanya di kehidupan profesional saya, tapi juga di segala hal. 

Selama kita hidup, selama itu juga kita harus berjuang. Itu yang akan saya tanamkan ke anak-anak saya. Bahwa mereka harus kuat, tidak mudah menyerah. Lalu ada saatnya juga ketika kita harus mengalah atau mundur, tapi jika itu terjadi, maka lakukanlah dengan jiwa besar dan lapang dada. Kita akan menjadi besar kalau kita berjiwa besar. Kita akan tetap kerdil kalau kita terus berlaku dengan jiwa kerdil. 

Baik dan buruk, kita semua akan mengalami itu dan akan terus menemui itu sepanjang hayat kita. Jangan takut karena Allah bersama kita.



Saturday, July 13, 2013

Lompat!

Seperti seorang batita yang sedang belajar berjalan, kadang kita harus terjatuh dulu sebelum bangkit dan melompat. Bagi beberapa orang, pengalaman jatuh itu mungkin tidak pernah ia alami, tapi bagi kita yang mengalami, pengalaman jatuh itu akan terasa sangat berharga ketika kita bisa bangkit dan melompat tinggi.

...dan saya pun melompat! Wish me luck!
Add caption

Monday, January 28, 2013

A Letter for Kiddos

Dear Kiddos,
 
Thanks for always calling me when I'm busy with my laptop at home. Some times all I need is just a little "me time," but then I realize "our little time" is more precious than that little "me time."

Thanks for always choosing me to be your friend at night. I wish I had more time between 7 am - 8 pm with you.

Thanks for your kindness to help me in our kitchen. Well, someday you'll find out what you really really do and will surely laugh at your self :)

Thanks for "reminding" me not to be so worry with tomorrow. Thanks for inspiring me a lot. Thanks for "teaching" me on how to be brave. Thanks for keeping me smile through my hardest times. Thanks for being my spirit when I'm down. Thanks for everything, Kiddos.

Love,
Ibu

Friday, January 4, 2013

Aku Ingin Menjadi Laki-Laki Saja

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
Baginya menjadi perempuan adalah siksaan
Hinaan sepanjang kehidupan
Penderitaan penuh kekonyolan
Semuanya tidak menyenangkan

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
Tak ada lagi menstruasi setiap bulannya
Tak ada lagi nyeri yang disebabkan karenanya
Tak ada lagi kerepotan yang menjengkelkan karenanya
Tak ada lagi fluktuasi emosi karenanya
Semua itu tidak menyenangkan baginya

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
Laki-laki tidak merasakan sakit di malam pertamanya
Laki-laki tidak perlu meringis menahan sakit itu demi pencapaian sebuah kenikmatan

"Aku ingin jadi laki-laki saja"
Begitu kata klien pertamaku
"Aku ingin terlahir kembali sebagai laki-laki"
Begitu kata klien pertamaku 

Sesi itu selesai pukul lima sore
Klien pertamaku pun berlalu
Ia kan kembali di waktu yang telah kami sepakati
Mungkinkah sebagai laki-laki?

...bersambung....
*hanyasebuahfiksi

Monday, December 31, 2012

Just Another Note; Year End Note

....and this, this my year end note.

That we need to buzz up our selves more in 2013, after all of the battles we face in this year. We have failed as well as we have succeed and we're going to make it much more better, aren't we? We have to win some more battles next year. So, let's do our best for life!

Yes, off course it's not always about reaching the goals, but also the lessons we learned through the journey. It has to be a meaningful and valueable story for us to share. Learn as much as possible, do as much as you can, share as much as you have!

That life is not always as simple as children see. When they see it as a playground, we have to see it as a masterpiece. Thanks God for whatever we have.

Feel happy when people ask for your help. They come to you 'cause they trust you. We'll never know what the future brings.

Take time to play with your kids, read them a nice story, kiss them, and listen to them. We'll find a day when we realize we've lost their childhood then we'll surely miss it. Remember, we can't go back to the past.

Lead by example, it's better for you, leaders, to do. Never ask people to do what we want, show them what we do, then they will follow. You are a good leader when you give a good example.

Thursday, December 13, 2012

...dari Commuter Line dengan cerita...

Bagian Satu 

Well, okay, nyerah jg akhirnya. Sekian lama ga nulis catatan2 ttg perjalanan2 saya, kayaknya ada sesuatu yg hilang. 

Heee sebenernya dengan ga adanya catetan2 itu yg hilang cuma 1 yaitu diri saya sendiri. Ke mana aja saya selama ini? Saya ada, hanya saja bersembunyi di balik warna-warni saya yang lain :) Okelah, sekarang saya pakai lagi warna saya yang ini. 

Ketika menulis catatan ini, saya sedang berdiri di tepi rel kereta di stasiun sudirman. Sendiri. Eh tunggu, saya tidak benar2 sendiri, ada banyak orang di sini. Saya ada di baris pertama antrian gerbong wanita. Di belakang saya ada satu baris wanita2 lainnya. Ya, saya tidak benar2 sendiri ternyata. Hanya karena tidak ada satupun orang yang saya kenal, saya merasa sendiri. Yup, begitulah, kadang kita merasa sendiri ketika kita ada di saat yang asing atau di lingkungan yang asing. Atau sebaliknya, kita bisa saja merasa asing di lingkungan yang sudah lama kita kenal. 

Saya masih berdiri di tepi rel, menanti datangnya kereta yang kata petugas di sini, dia akan datang pukul 6 lebih 20 menit. Kali ini saya sangsi kereta datang tepat waktu. Ya sudah, simple, seperti biasanya, saya menikmati perjalanan dan apapun yg terjadi di dalamnya. Saya teruskan memencet-mencet blackberry saya, huruf demi huruf, membentuk satu rangkaian catatan ini. 

Hmm....saya memikirkan badan commuter line, kereta yang akan saya naiki nanti. Kalau bisa bicara, apa yang akan dia katakan ya? Setiap hari, beberapa kali dalam sehari, pergi pulang ke tujuan yang sama, ribuan penumpang berjejal di dalamnya. Well, saya pikir dia sudah kehabisan suara untuk berbicara atau tak ada lagi kata-kata. Hanya deru mesin dan debu yang saling berbisik dan menatap satu sama lain. 

Oh tidak, kepala saya pusing melihat kereta yang melaju di hadapan saya. Kereta di jalur lain dengan tujuan yang lain. Tuing....tuing....kenapa ya? Karena lapar? Tidak juga, barusan saja saya mengisi perut saya dengan lontong isi, bakwan jagung, dan teh bot*l. Lumayan lah utk mengganjal perut, itu pikir saya. Aaah....mungkin itu dia, perut saya belum cukup kenyang utk melanjutkan perjalanan? Heee kata orang2, kapan sih saya merasa kenyang? :) Orang2 itu salah, sebenarnya saya kenyang, cacing2 di perut saya saja yang cepat lapar :p 

Bagian Dua 

Saya sudah di kereta, arah tanah abang. Dari tanah abang, saya lanjutkan perjalanan saya dengan kereta ke serpong dan turun di stasiun ___ tempat saya biasa turun. Saya yakin, ojek2 udah pada nunggu di sana. Jam berapapun saya pulang, ojek2 itu selalu ada. Mereka selalu siap mengantar calon2 penumpangnya ke mana pun tujuan mereka. Mereka rela menembus hujan jika diminta. Beberapa di antara mereka pun termasuk orang yang loyal. Beberapa lainnya bangga dengan profesi mereka. 

Dulu, saya selalu naik ojek yang pertama saya lihat. Alasannya sederhana, saya pengen cepat2 duduk manis dan sampai di rumah. Beda halnya dengan Ramon, dia lebih memilih jalan sedikit ke arah gerbang stasiun, alasannya, biar keluarnya gampang. Ya, begitulah, kadang beda pendapat itu ada. Dari persoalan yang sederhana sampai persoalan yang sulit, beda pendapat itu biasa. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Siapa tau dalam perbedaan pendapat itu kita menemukan suatu romantisme? Yang mungkin kita sendiri tidak menyangka itu ada di sana :)

Thursday, May 24, 2012

Dialog Dua Aku; Musim Gugur di Bandung

Aku:
Sejak kapan Bandung punya musim gugur?

Aku yang lain:
Itu pasti sejak dia meninggalkanmu.


Aku:
Dia tidak meninggalkanku, dia masih ada di gunung itu. Aku yakin sekarang dia sedang tidur.

Aku yang lain:
Aku tau, tidur untuk selamanya. Kau hadapilah kenyataan itu.


Aku:
Ga mungkin, pasti dia hanya tidur beberapa jam. Dia pasti terbangun kala mendengar jejak-jejak kaki tim pencari.

Aku yang lain:
Kau gila! Dia sudah mati!


Aku:
Kau yang gila, sejak kapan di Bandung ada musim gugur?

Aku yang lain:
Itu hanya untukmu, sejak pesawat itu jatuh, akal sehatmu pun jatuh. Kau meyakini hal yang ga mungkin terjadi, kau meyakini hal yang seharusnya kau ingkari. Harusnya kau yakin saja bahwa sekarang adalah musim gugur di Bandung.


Aku:
Kau benar-benar gila! Kau bilang aku gila, aku adalah kau dan kau adalah aku. Kalau aku gila, itu artinya kau juga gila!

Aku yang lain:
Aku? Gila? Hey, jelas-jelas aku beda dengan kau. Kita ada di satu tubuh, tapi sebenarnya hidup kita masing-masing. Aku adalah aku dan kau tetap kau. Ya, kau yang gila.


Aku:
Kenapa kau selalu mendebatku? Aku hanya meyakini apa yang kuyakini. Harusnya kau menghormati itu.

Aku yang lain:
Karena itulah fungsiku. Kalau aku ga ada, kau pasti lebih gila. Sudah, buang saja waham-waham yang kau yakini itu. Kembalilah ke dunia nyata. Dia sudah mati! Kekasihmu sudah mati! Kau lihat jasad-jasad dimasukkan ke dalam kantung mayat? Ada saatnya juga jasad kekasihmu dimasukkan ke sana, tunggu saja waktunya.


Aku:
Jasadnya ga akan pernah ada di kantung mayat itu, sebab kutahu dia hanya tertidur di belantara sana. Kala dia dengar langkah jejak-jejak si pencari, dia pasti kan terbangun dan kami pasti bertemu kembali di Bandung.

Aku yang lain:
Bagaimana kalau si pencari tak pernah menjejakkan kakinya di tempat kekasihmu terbaring?


Aku:
Dia akan tetap tertidur di sana sampai saatnya nanti dia terbangun dan kami pasti bertemu kembali.

Aku yang lain:
Gila!

*turut berduka cita atas peristiwa tragis yang terjadi pada pesawat Sukhoi Superjet 100

Sunday, May 20, 2012

Catatan Perjalanan 55

Tentang perjalanan kami menuju Taman Wisata Matahari, Puncak.

Done, mudah2an ga ada yang ketinggalan. "Yuk, jalan!" Kata saya kepada "pasukan." Setengah tujuh lewat dikit waktu kami berangkat dan itu udah telat 1.5 jam dari rencana keberangkatan awal. Penyebabnya siapa lagi? Udah ketebak, itu karena saya telat bangun :)

Dua jam kemudian kami udah ada di tol, berbaris, mengular, mengantri, dan menanti jalur dibuka kembali. Ya, pas kami baru aja masuk tol jalan memang udah tersendat-sendat. Beberapa mobil malah putar balik mengubah haluan, mungkin mereka lewat ciawi, pikir kami. Dari info penyiar di radio yang selalu melaporkan kondisi lalu lintas kami tau bahwa jalur ini, arah puncak, baru aja ditutup 15 menit lalu. Masih 45 menit lagi kami harus berdiam di sini.

Ada banyak orang berdiri di tengah-tengah jalur ini. Mereka mengacungkan jari telunjuk mereka, mengintip ke dalam satu per satu mobil, menawarkan jasa mereka untuk menjadi petunjuk jalan jalur alternatif. Tapi hey, sepanjang penglihatan mata saya, ga ada satu pun orang yang make jasa mereka. Well, that's life....

Juga, ada banyak orang duduk di tengah-tengah jalur ini. Mereka membuka telapak tangannya selebar mungkin, menengadahkannya, mengarahkannya ke mobil-mobil yang melalui mereka. Tapi hey, hanya sedikit saja orang yang memberi receh untuk mereka. Life....

Banyak juga orang yang mengasongkan dan mengusung dagangan. Kacang rebus, pizza, gemblong, tahu Sumedang, manisan buah, air mineral, permen, rokok, tisue, mainan anak-anak, kipas tangan, ya, itu semua. Tapi hey, keringat yang mereka kucurkan masih lebih banyak dari uang yang mereka dapatkan. Yeah, this is life....

Saturday, April 28, 2012

Saya Pasti Kembali; Bumi Halmahera dalam Catatan

Saya pernah ada di sana, mendarat di aspalnya bandara itu. Sebuah pesawat capung akhirnya mengantarkan saya ke negeri Sultan Baabullah. Waktu itu hujan rintik-rintik kecil. Saya berlari-lari dari pesawat menuju tempat pengambilan bagasi. Setetes dua tetes air mengenai hijab putih yang saya kenakan. Air hujan Ternate.

Lapar dan lelah. Dari situ saya dibawa entah ke dusun apa namanya. Di dusun inilah saya diajak santap siang. Rumah makan sederhana, pemiliknya orang Makassar. Berceritalah ibu pemilik rumah makan ini tentang kisah hijrahnya dari Makassar ke Ternate. Kisah yang sebenarnya saya pun sudah lupa :p Yang masih saya ingat adalah sosok si ibu yang kala itu mengenakan daster. Santap siang itu biasa saja, kehangatan penyambutan ibu itu yang luar biasa.

Perjalanan masih panjang, saya masih harus meneruskan langkah saya dengan sebuah kapal kayu untuk menyeberang ke Pulau Bacan. Hari itu masih siang, sedangkan kapal baru ada pukul 6 petang. Akhirnya, saya manfaatkan waktu untuk berkeliling kota Ternate ini.

Sesekali saya turun dari mobil, berbincang-bincang dengan penduduk sekitar. Kemudian saya lihat sekeliling. Tanah. Pasir. Laut. Pohon kelapa. Parabola. Ya, rata-rata penduduk di sini memiliki antena parabola. Waktu itu siaran televisi sulit mereka dapat, karena itulah mereka memasang parabola.

Ah, sudah sore, saya pun diantarkan ke dermaga tempat kapal kayu itu berlabuh. Mereka sudah membelikan tiket untuk saya. Syukurlah, saya kebagian kabin. Setelah tiga jam perjalanan udara, kini saatnya untuk menikmati delapan jam perjalanan laut. Langit dan udara malam jadi teman, juga kegelapan.

Tidak....!!! Sinyalnya lemah, waktu saya tinggal beberapa menit lagi untuk update status di friendster =p Tapi sayang, saya tidak bisa membukanya :( Baiklah, untuk sementara ga eksis dulu ^_^

Masih dapat saya lihat rangkaian kayu kapal ini. Masih dapat saya ingat gelap-gelapnya kulit orang-orang di sini dan kekarnya tubuh-tubuh mereka. Masih dapat saya hirup bau laki-laki di sini, aroma laut. Pun masih saya simpan tatapan-tatapan tajam penumpang-penumpang kapal ini. Ada yang aneh kah dengan diri saya? Atau dengan kehadiran saya? Saya merasa takut. Tuhan, lindungi saya.

Delapan jam lagi baru bisa saya jejak tanah Bacan. Sekarang pukul 10.00 malam, waktu indonesia bagian barat. Artinya sudah jam 12 malam di sini. Saya terjaga dan memilih berdiri di depan kabin saya. Seorang laki-laki, penduduk asli, pikir saya, berdiri sendiri menatap laut. Tak lama, ia pun menyadari kehadiran saya. Saya takut dengan tatapannya. Hampir semua penumpang kapal ini menatap saya tajam seperti itu. Takut, namun saya tetap berdiri memandang laut, membiarkan laki-laki itu menatap saya.

Sepertinya sudah hampir semua bagian kapal saya jejaki, termasuk ruang nahkodanya. Sempat pula saya berbincang-bincang dengannya. Tatapan nahkoda ini tidak tajam seperti para penumpangnya. Ah, tentu saja, dia harus menatap tajam lautan di depannya. GR ya saya?

Oh ya, saya juga sempat terkunci di dalam kamar mandi kapal ini. Kuncinya tidak bisa saya buka dan parahnya lagi, tidak ada orang di luar! Kamar mandi ini terletak di bagian bawah, ada di ruang cargo. Seram sekali tempat ini dan saya sendirian waktu itu. Beberapa menit terkunci, akhirnya saya bisa membuka pintu kamar mandi ini. Dengan bergegas saya tinggalkan ruang bawah kapal ini. Takuuuuuuut!!!!

Saya temui beberapa orang yang teler, dengan botol bir di sisi mereka. Ngeri. Langsung saja saya lewati mereka ini. Dengan langkah perlahan saya lewati mereka semua. Ada-ada saja. Kenapa saya melakukan ini ya? Saya bisa saja terlelap di kabin, tapi saya lebih memilih menikmati suasana ini. "Suatu saat saya saya akan merindukan ini," begitu pikir saya. Ya, dan inilah saatnya saya merindukan perjalanan itu.


***

Saya akan ada di sini selama sebelas hari. Saya benar-benar excited, tak sabar dengan apa yang akan saya temui esok lusa; Halmahera Selatan dengan pesonanya.

Di kala senggang, saya berjalan-jalan. Hanya menghabiskan waktu saya dengan menikmati alam dan manusia. Tanpa televisi, tanpa koneksi internet, tanpa pusat-pusat perbelanjaan. Anak-anak dan dewasa, pria dan wanita. Senyum, sapa, gigi putih mereka. Ya Tuhan, kangen banget. Kangennnnn banget.

Pernah saya membayangkan menetap di sini untuk beberapa bulan. Memantapkan pijakan saya di tanahnya. Menorehkan telapak kaki saya di pasirnya. Membuang napas saya bersama udara segarnya. Berbaur dan berbagi cerita dan ilmu dengan orang-orangnya.

Di suatu sore, saya sholat di masjid sederhana di suatu desa. Lagi-lagi saya lupa nama desa itu. Banyak anak sedang bermain di halamannya, menyenangkan, saya pun teringat masa-masa kecil saya. Lalu seorang ibu menghampiri saya dan kami pun saling bercerita. Kala itu saya masih muda, enam tahun yang lalu.

Di sore yang lain saya diajak berkeliling lagi dan mampirlah kami di suatu warung. Teronggok di depan warung itu durian-durian besar dan segar. Saya bukan pecinta durian, tapi sore itu saya mencicipi durian yang nikmatnya luar biasa. Durian ini dinamakan Durian Mentega karena warna daging buahnya yang kuning seperti mentega. Ya, saya setuju dengan nama itu :) Kapan lagi saya temukan durian mentega itu?

***

Hari Minggu, hari bebas tugas. Acara saya hari itu adalah memancing di tengah laut. Jadi, dengan speedboat kami dibawa ke tengah laut. Matahari tidak terlalu terik, angin kencang, laut tenang, dan yang pasti alat-alat pancing. Saya berdiri menatap laut, subhanallah, luas sekali tempat ini. Termenung sejenak, tafakur, lalu akhirnya saya bergabung dengan yang lain, saatnya memancing!!!!  Sejam, saya hanya dapat satu ikan, lalu bosan. Saya benar-benar tidak suka memancing! Tapi saya benar-benar menikmati berada di tengah laut di bawah langit dan sinar matahari kala itu.

Aha! Dapat! Satu teriakan saya dengar. Satu teriakan lagi, dan lagi. Di antara mereka ada yang dapat ikan besar, ikan kecil seperti saya, dan satu yang unik, ikan durian. Hah, ikan durian? Yup! Ikan ini di laut tampak sama dengan ikan lainnya, tapi ketika diangkat ke udara (ke darat) badannya menggembung dan berduri-duri seperti durian. Unik, sayang, saya sudah tidak punya fotonya lagi :(

Well, akhirnya acara mancing Minggu itu selesai kami pun dibawa ke tempat penyimpanan ikan. Di tempat ini, ikan-ikan yang ditangkap nelayan disimpan. Seorang petugas menjelaskan proses dari awal ikan datang sampai akhirnya dijual. Wuihhh......dingin sekali di tempat ini, suhunya minus sekian derajat celcius!Brr...... Lagi-lagi sayang, dokumentasi fotonya hilang :(

Oya, ketika saya di sana, sebenarnya di salah satu hari itu ada gempa, tapi saya tidak merasakannya. Justru saya tahu dari sms ibu saya di Jakarta. Katanya, saya susah dihubungi. Well, apa yang bisa diharapkan dari sebuah penginapan kecil yang jauh dari kota? Sinyal hanya saya dapat di luar kamar. Selebihnya, saya mati gaya.

***

Alhamdulillah, sebelas hari di sana, tugas selesai sudah. Saatnya kembali ke Jakarta. Perjalanan laut delapan jam, pesawat capung satu jam, pesawat besar dua jam, dan perjalanan dari Soetta ke rumah satu jam, home sweet home, akhirnya saya pulang.

***

Catatan ini saya tulis kembali sebagai obat kangen saya pada Bumi Halmahera. Catatan tentang perjalanan ini pernah saya publish di blog saya di friendster, beserta beberapa foto. Tapi, berhubung friendster lama sudah tidak bisa diakses lagi alias udah dihapus seperti yang dijelaskan Chimenk di link ini, jadilah saya tulis kembali catatan ini.

Suatu saat saya pasti ke sana lagi, menikmati senja di Halmahera, laut dan pantainya yang cantik.

(Di suatu bulan di tahun 2006)

Saturday, April 14, 2012

Rona Kenangan dari Tembok Cina

Waktunya 45 menit untuk kami semua - rombongan -menaiki satu per satu anak tangga Great Wall of China. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, suhu hari ini cukup bersahabat, 23 derajat celcius disertai angin. Matahari cukup membuat mataku silau menatap sekeliling. Kukeluarkan kacamata hitamku, kukenakan ia untuk melindungi mataku. Ah, tentu saja, melindungi mata. Syal sudah menggantung di leherku, siap menghangatkanku jika nanti di atas sana angin membuatku merasa dingin. Backpack kecil sudah melekat di punggungku. Air minum, jaket, payung, make up, obat-obatan, tissue basah, tissue kering, sarung tangan, dompet dan isinya, mukena. Semua ada di sana, siap menemaniku ke dua menara  terdekat yang kupikir dapat kujangkau. Handphone dan kamera tentu saja kubawa, ada di dalam kantung celanaku.


Untuk menjaga tubuhku tetap hangat, hari itu kukenakan tiga lapis baju. Blue jeans, sepatu kets yang membuatku nyaman menapak batu-batu tangga itu, dan sebelumnya sudah kuolesi pelembab di wajahku, kugunakan juga pelembab bibir, dan lotion di seluruh tubuhku.


Kumulai langkahku bersama beberapa orang teman. Satu persatu mereka meninggalkanku, satu per satu kutinggalkan yang lainnya. Satu persatu kujejaki anak tangga di tempat agung ini. Hela demi hela napas mengiringi pengalaman ini. Semakin tinggi, semakin berat, semakin memikat.

Sesekali napasku tersengal-sengal, membuatku bimbang apakah akan kulanjutkan perjalanan ini atau tidak. Namun menara di atas sana cukup memesonaku sehingga kutetapkan keinginanku untuk menuju puncaknya. 



Jutaan orang datang ke sini. Untuk kali pertama, kedua, atau kali keseribu. Jutaan kenangan pasti melekat di dinding dan batu-batu di sini, menyeruak ke relung hati terbawa semilir angin negeri China, membuncahkan rasa rindu dan syahdu manusia-manusia pendaki. 
 
Di satu titik, kulihat berjajar gembok-gembok cinta. Pasangan-pasangan yang mempercayai hal itu, mereka yakin jika mereka meletakkan sebuah gembok bertuliskan nama mereka dan pasangan mereka, lalu membuang kuncinya, maka cinta mereka akan abadi. Memang, kadang keyakinan seperti ini tak sejalan dengan logika. Tapi itulah dinamika manusia, kita hidup bersama aneka keyakinan dan logika.

 
Sudah separuh perjalanan kutempuh, teman yang berjalan di sisiku tidak lagi sama. Penggambaran sederhana kehidupan, bahwa dalam menjalani hidup ini kita bisa bertemu siapapun. Terkadang kita tidak bisa memilih ingin bertemu siapa, namun sebaliknya, terkadang siapa yang kita temui itu mengubah cerita hidup kita. Dari separuh perjalanan ini bisa kulihat pemandangan di bawahku yang botabene adalah langkah-langkah yang sudah kubuat dan kutinggalkan. Terlihat indah, tenang. Separuh perjalan lagi harus kutempuh, kulanjutkan langkah-langkah kecilku.

Ketinggian ini terlihat dan terasa curam. Sekali waktu kurasa begitu lelah dan ingin berhenti, kembali tanpa pernah berhasil menaiki menara. Namun kemudian, kuarahkan pandanganku ke atas menatap menara itu, dan berlalulah aku menuju puncaknya. 

 

Kembali terhenti, di sini aku bertemu dengan beberapa teman lain. Beberapa di antara mereka sudah lebih dulu sampai dan lainnya tiba bersamaan denganku. Seperti hidup, satu cerita lain bersama orang yang lain. 





Ada saatnya pula kita lelah dan kita memilih beristirahat sejenak untuk kemudian melanjutkan perjalanan. 





Pikiranku terbang bersama angin. Gembok-gembok cinta di bawah sana masih terlihat jelas di benakku, entah mengapa. Tiba-tiba saja sebuah nama muncul mengejutkanku, seolah membangunkanku dari lamunan. Rupanya kelelahan ini membuatku 'terbang' ke masa silam. Tersadar, kukembali berdiri dan mendaki. Hingga sampai di menara pertama dan menara kedua.




 Aku pun menikmati sensasi pengalaman ini. Di menara kedua ini, aku bersama belasan teman berfoto. Sekadar mengabadikan momen berkesan ini. Kuhirup udaranya, kulihat awannya, langitnya, kurasakan sinar mataharinya hangat mengenai kulit wajahku, China dengan pesonanya.

Aku dan beberapa temanku memutuskan turun setelah itu, sisanya melanjutkan perjalanan menuju menara berikutnya. 

Hal ini mengingatkanku bahwa tidak selamanya kita bersama orang-orang yang ada di sekeliling kita saat ini. Bisa jadi kita memang berpisah ke dua arah yang berbeda, kita meninggalkan mereka, atau mereka yang meninggalkan kita.

Ah, perjalanan ini harusnya menjadi satu perjalanan heroik, tapi entah mengapa aku merasakan sedikit roman dalam pengalaman ini. Kembali kuteringat kepada satu nama yang tadi tiba-tiba muncul di benakku.

Meski tetap disertai perasaan ngeri, perjalanan turun tidak terlalu melelahkan. Di sisi kananku seorang teman berbaju kuning, di depanku seorang teman berkaos hitam, kami bertiga segera kembali ke meeting point. Sesekali kami sempatkan berpose di dalam perjalanan turun kami. Hingga seseorang mengejutkanku dengan sapaannya.

"Rona?" 
"Hai," jawabku.

Lalu dalam beberapa menit kami tenggelam dalam sebuah percakapan kenangan. Dan bisikan doa di dalam hati, semoga kami bertemu kembali.

(Beijing, April 2012)


 

Friday, March 2, 2012

An Email to My Blog

Hi Blog,

How are you doing? It's been two months since I came to the new place, and I miss you so much.

Many things I wanna tell, many stories I wanna share. The taxi driver, the poor man, the train, the bus, the new people whom I met, the feeling, the target, the score.....the meaning of it all.

The taxi driver impressed me on how he loves his family. He puts photos of his son and daughter on the steering wheel, thus he can smile whenever he got stress due to traffic or anything that makes him angry. Yeah, children (family) always be the first who keep us strong.

The poor man, the train, and the bus, I wish I could share you the stories in here, right now. But since I have only a little time writing this email to you, I'll see you next time with these stories. Now, I'm gonna tell you 'bout the people whom I met.

They are young, smart, energetic, and dynamic people. The environment is very good, hence I was motivated to learn and learn and always do the best I can. They give me spirit to grow and I'm proud to be part of them. So glad to be here, Alhamdulillah.

And do you know, Blog? They just remind me to them, friends I used to spend my time with. How I miss them, Blog, miss them so much. Even I miss little things such taking times together in the restroom, talking and laughing. Ooh.... Also I miss my time in a bus, transjakarta bus, with them. We went home together sometimes, had a joke or silly conversations while we were waiting for the bus to come. When will it happen again?Never, I thought, things will never be the same again. But, Blog, they and those memories will be in my heart, in my mind, always. I can say it for sure.

Then, what about the target and the score? Yup, both are just a number....I can have it a minimum score, median score, or even maximum. But for me, the most important is my intention on doing things to get it and how I define my achievement and my failure. May Allah bless me always.

Thanks for reading, Blog.

Regards,
-me

Sunday, January 15, 2012

Cerita Minggu Siang

Saat ini pukul 13:22 di Pamulang. Saya duduk di ruang tempat kami biasa bekerja; saya dan Ramon. Ruang tempat kami berkutat dengan komputer kami masing-masing, dengan pikiran kami masing-masing, dengan perhitungan-perhitungan kami, analisa-analisa kami, dan perkiraan-perkiraan kami. Kami biasa tenggelam dalam dunia kami masing-masing di ruang ini. Saya menghadap ke arah luar, arah yang memungkinkan saya melihat hijaunya daun dan bersihnya langit di kala siang. Sementara itu, Ramon ada di sudut ruangan, ditemani segelas kopi instan kesukaannya. Saya putar lagu-lagu kesukaan saya, untuk kami berdua.

Siang ini saya sendiri membuka mata, seisi rumah terlelap dalam dinginnya cuaca ini. Sejak pagi cuaca memang seperti ini, mendung, gerimis, hujan agak deras, gerimis lagi, berhenti lagi hujannya, tinggal sedikit mendung, lalu gerimis lagi. Langit dan awan sama sekali tidak menyisakan celah untuk sinar matahari masuk ke sela-sela jemuran kami. Januari ini penuh air keberkahan.

Saya baru saja akan mulai mengerjakan sesuatu ketika akhirnya pikiran saya teralih ke catatan ini. Sudah dua pekan mungkin sejak terakhir kali saya menuliskan cerita saya, terasa lama sekali. Dua pekan ini saya berada di satu lingkungan baru, rimba baru, dan cakrawala baru. Pekan pertama terasa berat, saya harus menyesuaikan diri dengan banyak hal dalam waktu begitu cepat. Syukurlah, pekan itu terlewati juga. Pekan kedua terasa lebih ringan bagi saya, sudah satu dua titik saya kuasai. Masih ada pekan-pekan berikutnya yang pasti harus tetap saya jaga amanahnya dan harus saya taklukkan tantangannya. Saya harus bisa.

Besok, seperti awal pekan yang sudah-sudah, akan tetap ada meeting pagi bagi saya, hanya format dan kontennya saja yang berbeda. Setelah itu, hari akan saya lanjutkan dengan sebuah training tentang sistem appraisal di rumah baru saya ini. Ya, sebulan ke depan akan ada appraisal untuk mereka yang sudah melewati masa tiga bulan percobaan per 1 Pebruari. Indikator-indikatornya jelas dan terperinci. Akan masuk ke saya sekitar 50 form appraisal dan berikutnya sesi interview antara setiap orang dan manajemen. Beberapa dari mereka terlihat gelisah, beberapa lainnya biasa saja. Bulan depan bonus akan keluar, mereka akan mendapatkan nominal sesuai hasil appraisal ini. Tentu saja saya tidak kebagian ;)

Well, di antara ribuan langkah kita, beberapa mungkin terasa berat, tapi langkah-langkah itu harus ada untuk menjadikan kita semakin kuat. Sementara sekitar 50 orang itu menghadapi appraisal mereka, saya akan menghadapi dua setengah bulan lagi masa percobaan yang mungkin menjadi langkah-langkah berat saya. Saya harus bisa melakukannya! Insya Allah saya bisa.

Saturday, December 24, 2011

dari Biru ke Hijau

Catatan ini saya persembahkan untuk Mbak Susi, mentor saya yang baik hati.
***

Muda, dinamis, penuh energi. Beberapa di antara mereka memakai earphone, beberapa lainnya mengunyah camilan, beberapa sisanya mengerutkan kening, semuanya dengan laptop masing-masing.

Pagi ini, ketika baru saja saya datang, saya langsung disuguhi ini itu, tugas yang harus saya selesaikan. Seseorang merinci beberapa ini itu yang harus saya ingat. Dengan cepat dan tegas ia berbicara tanpa memberikan saya kesempatan untuk mencatat dan bahkan bernapas panjang. Ritmenya seperti musik dugem yang berdetak cepat membuat jantung berdegup lebih kencang. Wow!!!! What a perfect morning!

Berikutnya, saya diajak berkeliling dikenalkan dengan orang ini itu, semuanya. Hingga sampailah saya di suatu ruangan yang terdiri dari beberapa orang, "and that.....that is your corner. You may sit there and do whatever you have to do. He will help you for the laptop and your email account" dia menunjuk seorang IT Support.

Lalu, di situlah saya pada akhirnya, dengan laptop dan berkas-berkas yang saya terima sebelumnya. Saya buka outlook, beberapa email sudah masuk. Ucapan selamat datang, undangan LinkedIn, dan email-email pekerjaan yang harus saya pelajari. Wow!!!! Seru banget!!!

Sebagian besar kami adalah orang-orang psikologi dan beberapa ilmu sosial lain, orang-orang statistik atau matematik, dan selebihnya adalah IT Support dan admin. Sebagian besar orang-orang di sini adalah researcher; kualitatif dan atau kuantitatif.

Well, mereka bekerja dengan orang dan data. Mereka bisa berjam-jam menganalisa data-data itu untuk selanjutnya memberikan INSIGHT kepada klien kami. Seperti itu alurnya. Teringat ucapan seseorang di sini sebulan yang lalu, "All you have to do is to make people here feel happy, comfort, and enjoy their work. Whatever your approach to them, I don't care. Got it?!" Wow!!! Adrenalin saya meningkat :) Terlebih mengingat satu target kondisi yang harus saya capai setahun ke depan.

Tak ada yang sempurna. Hanya berikan yang terbaik yang saya bisa.

*kesan hari pertama kerja di tempat baru

Sunday, December 18, 2011

Insight, Hope, Intuition

Ketika akhirnya saya memutuskan pergi, itu tidak berarti saya ingin meninggalkan seluruh bagian yang saya miliki sekarang. Saya hanya butuh bergerak, hijrah ke tempat yang baru. Sebab ada hal yang mungkin tidak bisa saya ubah, maka saya mengambil jalan lain ini. Insight, hope, intuition.

Semuanya bermula dari sebab, hingga akhirnya timbul akibat, dan di antaranya ada suatu proses yang menyertainya. Usaha dan doa. Insight, hope, intuition.

Bagi saya, ini adalah saat matahari sepenggalah naik, ketika biasanya kita mendirikan sholat Dhuha. Masih ada beberapa jam lagi sebelum senja, sebelum saya telat memulai perjalanan baru. Kembali saya termenung, insight, hope, intuition.

Manusia hidup itu bergerak. Pun ketika ia lumpuh, tetap ada bagian yang menunjukkan kehidupannya. Tidak terkecuali saya, bergerak menuju bagian hari yang lain dan babak baru dalam perjalanan saya. Saya hanya ingin hijrah, mudah-mudahan ada lebih banyak kebaikan di sana. Insight, hope, intuition.

Maju melampaui kenangan-kenangan, bukan berarti melupakan semuanya. Hanya menyimpannya rapi di loci-loci khusus sesuai bagiannya. Suatu saat akan saya panggil mereka kembali, menemani saya di hari yang lain. Insight, hope, intuition.

Melesat menembus harapan-harapan, banyak doa saya panjatkan. Semoga jalan saya dimudahkan. Semoga ada banyak kebaikan untuk banyak orang di sekeliling saya. Insight, hope, intuition.

Wednesday, October 26, 2011

Cerita dalam Sepiring Nasi Goreng

Saya mengenalnya sangat lama. Ketika dia belum mengenal saya, ketika saya masih menjadi penggemar rahasianya. Saya mengagumi sosoknya yang sederhana dan bersahabat, saya benar-benar mengaguminya.

Tidak dipungkiri, ketertarikan saya pertama adalah pada matanya. Bukan hanya wajahnya secara keseluruhan yang rupawan, tapi di sorot matanya saya menemukan sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah saya temukan di wanita lain. Sesuatu yang kelak menuntun saya untuk selalu menjaga sorot mata itu.

Pandangannya teduh, meneduhkan jiwa saya yang ketika itu bergejolak. Ucapannya lembut, membuat salju di hati saya seketika meleleh. Lakunya seperti warna-warni pelangi yang sanggup mencerahkan hari saya yang baru saja diguyur hujan.

Ketika akhirnya kami ditakdirkan bersama, betapa bahagianya saya. Kini mata dan pandangannya yang meneduhkan itu begitu dekat dengan saya. Nikmat Allah yang mana lagi yang saya dustakan?

Saya menyayanginya sangat. Saya akan menjaganya senantiasa, itu janji saya. Saya pun kemudian menikahinya, karena Allah. Saya mencintainya karena Allah.

Setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Cinta kami tumbuh bersama dalam suatu mahligai rumah tangga. Nikmat Allah yang mana lagi yang kami dustakan? Saya sangat bersyukur memilikinya. Saya masih mencintainya, karena Allah.

Lima belas, sembilan belas, dua puluh enam tahun. Cinta kami berkembang dan semakin matang. Nikmat Allah yang mana lagi yang kami dustakan? Sejauh ini saya sangat mencintainya, karena Allah.

Tiga puluh, tiga puluh tiga, tiga puluh tujuh. Cinta kami masih ada. Meski suatu penyakit menghilangkan fungsi matanya, namun bagi saya mata itu tetap yang paling menarik. Nikmat Allah yang mana lagi yang saya dustakan? Saya akan selalu mencintainya, karena Allah.

Nasi goreng buatannya adalah yang terenak bagi saya. Sekarang, giliran saya menghidangkan nasi goreng untuknya. Akan saya suapi sendok demi sendok ke mulutnya, sambil saya pandangi matanya. Bagaimanapun, saya masih menemukan sorot mata sekian puluh tahun yang lalu di mata itu. Tak pernah berubah. Saya pun bersyukur dapat menjaganya.

Wednesday, October 5, 2011

Ketoprak Hidup dan Teh di Pagi Hari

Well, setiap hari ketika kita membuka mata setelah suatu episode tidur lelap dan setelah membaca doa bangun tidur, kita akan bertanya, "Apa yang akan terjadi hari ini?" Saya pun bertanya, "Apa sarapan saya akan sehambar ketoprak yang saya makan kemarin pagi?


Setelah itu, kita akan berdoa, "Ya Allah, lancarkanlah urusan-urusan kami." Saya pun berdoa, "Ya Allah, segala puji bagi Engkau Tuhan Semesta Alam. Syukur alhamdulillah atas segala karunia yang telah Engkau berikan kepada kami; hamba dan keluarga hamba. Ampunilah kami, Ya Allah. Ampuni dosa-dosa kami. Limpahkan kami dengan damainya maghfirohmu. Teguhkan hati kami untuk senantiasa berada di dalam kebaikan. Jernihkan pikiran kami. Bersihkan hati kami dari segala penyakit hati. Lancarkan lisan kami, tangan kami, kaki kami, arahkan anggota-anggota tubuh kami dan jiwa kami menuju kebaikan. Sehatkan kami. Kuatkan iman kami. Ridhoi kami atas apa yang kami lakukan. Lindungi kami senantiasa, Ya Allah. Mudahkan urusan-urusan kami, ridhoi kami. Ya Allah, Ya Rabb. Kabulkan doa kami."


Kita pun segera memulai aktivitas kita, apapun itu. Di dalam hati kita, bergejolak banyak rasa, sebab kita manusia. Di dalam pikiran kita, terlintas berjuta hal, sebab kita manusia. Tanpa disengaja kita mengingat hari kemarin, apa yang terjadi di siang hari. Kita bertanya, mengapa itu semua bisa terjadi? Kita menyangkal, kita berargumen, kita berharap. Sebaliknya, bisa jadi kita justru menyetujui satu dua hal, mendengarkan argumen, dan melepaskan harapan. Semuanya terjadi dalam satu waktu, yaitu ketika kita menyeruput teh atau kopi yang tersaji.


Di sore hari, kita berpikir, akan kita tutup seperti apa hari ini? Akan bagaimana kita jelang sang malam? Setelah menemukan jawabannya, saya pun bertekad, "Akan saya tutup hari ini dengan cara seperti ini, dengan melakukan hal ini dan itu. Akan saya jelang malam dengan doa saya yang lain. Sebab doa membuat saya tenang."


Di malam harinya, ada kerikil-kerikil mengganjal dan menghalangi jalan pulang kita. Di antara kerikil-kerikil itu, ada yang bisa kita singkirkan, ada yang tidak. Kita pun berefleksi, menanyakan mengapa hal ini dan itu terjadi kepada kita. Mengapa kita berbuat seperti ini, mengapa dia dan mereka berbuat seperti itu. Kita bertanya, mungkin kita menemukan jawabannya, mungkin pula tidak.


Sebagian dari kita menyalahkan diri sendiri, sebagian menyalahkan orang lain, sebagian lagi menyalahkan keadaan. Dari semua itu, bagi saya satu hal, adalah menarik mengetahui alasan atau sebab di balik apa yang terjadi. Namun kadang ada jebakan-jebakan yang membuat diri saya dan bisa juga kita semua, terjebak dalam satu benteng pertahanan diri, apapun bentuknya. Kadang kita berharap orang bisa memahami kita, padahal di sebelah sana mungkin terjadi hal yang sebaliknya, mereka yang ingin kita pahami.


Rumit? Tidak juga.



Saturday, October 1, 2011

Ketika Tanda-Tanda Berbicara

Hey, u! Ketika kamu mengatakan waktuku ga banyak, sebentar lagi ku akan pergi. Kamu tau apa yang ada di pikiranku? Ada hal lain yang mau kamu sampaikan ke aku. Bukan perkara waktu yang utama, tapi perasaanmu kepadaku. Itu intinya.

Ah, aku jadi ingat ponsel mahal yang ada di genggaman tanganku sekarang, jam tangan cantik, tas disain minimalis, gaun pesta yang glamor, dan terakhir mobil sporty kesukaanku. Itu semua bukan perkara bendanya, tapi apa yang ingin kamu sampaikan melaluinya.

Aku sayang kamu, kamu tau itu. Ketika kita tau bahwa kita saling sayang, kita mencoba mengungkapkannya dengan cara yang berbeda-beda. Sebagian melalui kata-kata, sebagian melalui benda-benda, sebagian lagi melalui tanda-tanda. Semua itu mengarahkan kita pada satu kata, sayang.

Tapi, hey, ingatkah kamu beberapa waktu lalu? Kamu marah besar kepadaku. Matamu membelalak, nada suaramu meninggi, kulitmu terlihat memerah, tanganmu mengepal. Kulihat sisi lain dirimu kala itu. Semua itu menandakan satu hal, sifat manusiawi dirimu. Kemarahan yang jarang sekali kulihat itu menandakan dirimu masih normal :)

Kamu menulis ini itu. Bagi orang lain itu bukan sesuatu, tapi aku tau itu lebih dari sesuatu. Ada hal besar ingin kau sampaikan melaluinya. Statusmu, notesmu, puisimu, icon-icon yang kau gunakan, pilihan kata-katamu, susunan kalimatmu, pemisahan paragraf yang kau buat, komentar-komentarmu. Semua itu simbol bagiku.

Sejak hidup kita terdiri dari unsur-unsur kimia, sejak apa yang terjadi di sekeliling kita ada penyebabnya, sejak itu pula kita berbicara melalui bahasa simbol. Segala yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasa merupakan tanda. Bahwa ada sesuatu yang lebih dalam daripada kata-kata. Bahwa ada sesuatu yang sangat berharga di sana. Bahwa semuanya merepresentasikan suatu makna.

Akhirnya, simpul-simpul tali yang kau buat pun menjadi tanda bagi kita...... Bahwa kita pernah ada di titik ini, titik ini, dan titik ini. Aku akan buat simpul yang lain, simpul yang mengarahkan kita pada tujuan berikutnya, sebelum akhirnya sampai di tujuan final.

Sebab kita hidup di dunia simbolik .... ^_^

Tuesday, September 20, 2011

Tentang Menang dan Kalah

Tentang nilai-nilai yang kita tanamkan kepada anak-anak kita. Kadang terasa berat baik buat kita maupun buat mereka, tapi mereka harus mengalaminya, harus mengetahuinya.

Di perayaan Agustusan lalu di lingkungan rukun tetanggarumah kami, Raisha ikutan lomba mindahin air pake sponge dari garis start ke garis finish. Dia dan beberapa anak yang menjadi lawannya dalam lomba itu diberi waktu tertentu untuk bolak balik mencelupkan sponge ke dalam baskom berisi air di garis start, membawanya lari ke garis finish, lalu memeras sponge tersebut ke dalam baskom yang sudah disediakan di situ.

Di garis start saya berdiri untuk menyemangatinya. Di ujung sana, di garis finish, pengasuhnya berdiri menunggunya datang, juga untuk menyemangatinya. Saya tahu, dia belum mengerti apa maksud lomba itu. Yang dia tahu dia hanya diminta untuk menuruti kata-kata saya. Sebelum mulai saya beri instruksi kepadanya, "Kakak, nanti busanya Kakak masukin ke sini, trus Kakak lari ke Mbak Ci, trus peres begini ya...trus kalo udah, Kakak balik lagi ke Ibu. Ok?"

Pluit tanda dimulainya lomba pun dibunyikan, mulailai Raisha beraksi. Dia lakukan apa yang saya perintahkan tadi. Dia mengerti, alhamdulillah. Yang lucu pas dia lari. Ebal ebol ebal ebol pantatnya megal megol bergoyang karena langkah-langkah kecilnya yang lucu. Bolak-balik, kelelahan, dan.....priiit...terdengar bunyi tanda lomba usai. Setelah dilihat hasilnya....eng ing eng.....ternyata Raisha juara dua!!!! Senangnya. Ini pengalaman menang pertama Raisha.

Raisha (kanan) dan hadiahnya

Lain lagi cerita tentang Agustusan di sekolahnya (Raisha ikut PAUD di TK dekat rumah kami). Lomba yang Raisha ikuti yaitu lomba menempelkan alat indra ke gambar yang disediakan. Di garis start ada gambar-gambar alat indra, lalu digaris finish ada gambar wajah. Raisha harus menempelkan alat-alat indra itu dengan cepat dan tepat. Karena saat itu adalah hari kerja, saya tidak bisa menemaninya, saya hanya titip pesan ke pengasuhnya. "Ci, nanti kamu kasih semangat ke Kakak ya, tapi jangan kamu bantuin nempel-nempel biar dia aja sendiri."

Singkat cerita, Raisha kalah. "Kakak kalah, Bu, temen-temennya pada dibantuin Mbaknya, dibantuin ibunya," kata pengasuh Raisha. Saya cuma bilang, "Ga pa pa ^_^ yang penting dia kerja sendiri." Inilah pengalaman kalah pertama Raisha.

Senang rasanya mengetahui anak kita bisa berkompetisi dan memenangi suatu perlombaan. Berat rasanya menerima kekalahan. Dalam suatu perlombaan, menang atau kalah adalah hal yang biasa. Sama seperti pengalaman Raisha atas dua lomba yang diikutinya, menang kalah adalah biasa.

Saya apresiasi kemenangannya, saya pupuk percaya dirinya, saya puji dia atas keberhasilannya. Dari kekalahannya, saya pun memujinya karena sudah berani bekerja sendiri, menyelesaikan tugasnya sendiri. Dan...tanpa mengurangi rasa hormat saya pada orang tua yang membantu anaknya di perlombaan tersebut, saya hanya ingin menanamkan nilai-nilai sportivitas pada Raisha. Itu saja. Kelak ia akan tahu maknanya.


Friday, August 26, 2011

Tentang Suami dan Isteri

Well, karena ada satu urusan, semalem saya pulang sendiri, ga dijemput ramon. Ketemulah saya dengan seorang teman lama. Saling tanya kabar, akhirnya obrolan didominasi oleh topik dewasa; kewajiban suami istri. Eits, kewajiban yang mana nih? Banyak hal, intinya dia ngoceh tentang peran dan tanggung jawab suami dan istri. Mungkin karena dia lebih tua, lebih dulu menikah, lebih banyak pengalaman, jadinya dia seperti ngasih wejangan ke saya.

Satu hal yang terngiang2 sampe pagi ini adalah ucapannya tentang senyumnya seorang isteri kepada suami adalah ibadah. Gitu katanya. Enak kan, senyum aja bernilai ibadah. Katanya lagi gitu. Trus saya nginget2, saya banyakan senyumnya atau cemberutnya ya? Hahahahaa.......

Trus dia juga ngomong tentang betapa beratnya tanggung jawab seorang suami. Kalau suami salah, dia yang berdosa. Kalau istri salah, bukan cuma isteri, tapi suami jg berdosa. Intinya, seperti itulah gambaran tanggung jawab seorang suami kepada isteri.

Tentang istri yang suka nuntut lebih. Nah lho, saya jadi mikir lagi, jadi merefleksikan ke diri sendiri. Tentang istri yang matere hehehehe..... katanya, tuntutan itu juga harus realistis. Jangan sampai suatu tuntutan itu memberatkan pihak lain; isteri memberatkan suami atau sebaliknya. Heee.....saya langsung kepikiran suatu suku yang ceweknya dikenal dengan predikat cewek matere deh hehehe....Ups, saya ga nyebut nama suku lho ya di sini. Kalo ada yang ngerasa, no offense yach. Anyway, saya setuju dengan hal itu. Percuma juga bikin tuntutan yang ga realistis. Alih2 memacu kebaikan nanti malah memicu pertengkaran. Ya nggak?

Nah, trus, tentang kondisi menerima pasangan kita apa adanya. Yang dimaksud apa adanya di sini menurut teman saya adalah bukan saklek mandeg menjadi diri kita apa adanya yang banyak kekurangan, tapi terus memperbaiki diri dari waktu ke waktunya. Setuju banget deh sama yang satu ini.

Terus....terus...terus....saya jadi inget ucapan seorang psikolog terkenal, Sarlito Wirawan. Katanya, dalam mempertahankan rumah tangga itu bukan hanya cinta yang dikembangkan, tapi juga rasa tanggung jawab. Kata Sarlito, cinta dalam suatu rumah tangga paling lama bertahan selama tiga tahun, selebihnya, yang harusnya berkembang adalah rasa tanggung jawab dan komitmen terhadap pasangan dan keluarga. Sarlito juga bilang, walau sudah menikah, masing-masing pihak juga boleh tetap menjadi dirinya sendiri. Beri pasangan kita privasi dan kepercayaan, misalnya dengan tidak menanyakan password email atau akun jejaring sosialnya. Hmm.....tapi kalo pin atm kayaknya harus deh ;p Pasangan tidak boleh mengekang. Jangan buat hal2 kecil menjadi pemicu keributan. Gitu katanya.

Gimana menurut teman2?