Monday, August 1, 2011

Aku Memilih, Aku Menerima Konsekuensi

Pagi ini, ada satu kejadian yang bikin saya ingat sebuah film. Judul film itu "Nothing but The Truth." Film tahun 2008 yang bercerita tentang perjuangan dan pengorbanan seorang jurnalis wanita mempertahankan prinsipnya yaitu memegang teguh kode etik jurnalistik.

Wanita ini berusaha mati-matian melindungi narasumbernya. Mulai dari mendapat dukungan suami dan rekan kerja, sampai ia harus kehilangan cinta dan keluarganya, semua tergambar di film ini. Menyedihkan. Gambaran konsekuensi yang harus diterima seorang wanita ketika ia mempertahankan idealismenya.

Ada perbedaan nyata jika kita membandingkan ini dengan dunia laki-laki. Ketika seorang laki-laki mempertahankan prinsip dan idealismenya, dengan serta merta dia akan mendapatkan simpati dan pujian publik. Sebaliknya, ketika perempuan mati-matian membela apa yang dipegangteguh olehnya, ia akan kehilangan segala-galanya terutama cinta dan keluarga.

Di sini pergulatan batin seorang wanita terjadi. Apakah ia akan mempertahankan prinsipnya itu demi sebuah kode etik ataukah ia akan mengabaikannya demi sebuah keutuhan keluarga. Setiap pilihan yang dia ambil ada konsekuensinya. Setiap keputusan yang dia buat ada konsekuensinya.

Pada satu titik jika kita menonton film ini, kita akan menyalahkan wanita ini dan mendorongnya untuk menyerah saja. Di sisi lain, kita benar-benar tidak akan pernah mengerti mengapa wanita ini benar-benar menjunjung tinggi idealismenya, janjinya kepada sang narasumber. Kita tidak pernah akan mengerti karena kita tidak pernah benar-benar berada di posisinya.

Film ini menyuguhkan kehidupan apa adanya seorang wanita karir yang juga memiliki rumah tangga. Ketika ia dimasukkan ke dalam penjara, ketika itulah cinta dan dukungan suami diuji. Jujur, ada satu saat ketika saya benar-benar membenci si tokoh pria dalam film ini, yaitu ketika dia mencampakkan isterinya yang sedang terkena masalah hukum. Ekspresi marah yang ditunjukkan jurnalis wanita ini keren banget. Total! Begitu juga ketika ia merasa sangat terpukul karena ditinggalkan oleh anak satu-satunya. Benar-benar menguras emosi.

Bagi saya film ini menyuguhkan satu pesan sederhana; ketika kita memilih untuk menetapkan satu jalan hidup, ketika itu pula kita menetapkan konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan karena pilihan itu. Dan sekali kita melangkah, kita ga akan pernah bisa kembali. Perjuangan membela idealisme itu kadang pahit, tinggal kita yang memutuskan sampai batas mana kita mempertahankan idealisme itu. Terakhir, perang batin itu kadang terjadi dan kita alami sendiri, sekali lagi, apapun keputusan yang kita buat, selalu ada konsekuensinya.

Wallahu a'lam.

*dedicated to a friend.... I will surely miss you...

21 comments:

cikal ananda said...

Pilihlah keputusan itu dengan kata hati. Konsekuensinya akan terjawah oleh hati. Hati'' dalam memilih. Masa depan sebagai taruhannya. hidup tak lebih sebagai ASAP. Sebentar hilang.

arqu3fiq said...

Semua keputusan yang kita ambil pasti ada resikonya. Sekarang tinggal kita sendiri yang menentukan, mau menggambil resiko demi proses kemajuan apa tidak?

Nice posting.

Ummi Ita said...

nggak bisa ngebayangin gimana kalo ada diposisi itu. pasti susah. dilema besar. apalagi kalo hubungannya dengan keluarga.
mudah2an kita selalu dimudahkan dalam hal apapun.amien

Unknown said...

cikal ananda: wah....saya suka bagian akhir tuh, Mas, hidup seperti asap, sebentar hilang. bener juga sih.

arqu3fiq: makasih ya...risiko itu pasti ada.
ita: amiin, Mbak Ita. Selamat puasa ya, Mbak ;)

makmalf said...

Kebetulan film ini ada di list film yg ingin saya tonton. :)

Dwi Kusumaningtyas said...

saya ingat pelem itu,mbak... ^O^
saya juga suka....
recommended juga buat mbak: Freedom Writer.

BTW, selamat puasa juga yah,mbak!

Adi Yulianto said...

dalem banget mbak paragraf terakhir..:)

memang benar, ketika sudah melangkah berarti harus menerima segala konsekuensinya. Dan itulah start dari perjalanan dan harus sampai finish. Finish-nya dimana? hanya dia yg melakukan dan Tuhan lah yang tahu, dimana finish-nya..;)

Ajeng Sari Rahayu said...

belum nonton mbak, sepertinmya ni film menyakitkan beberapa pihak, atau mungkin membuka pandangan beberapa pihak. saya masih nggak ngerti, kenapa kalau pria dianggap tangguh sementara yang wanita malah ditinggalkan mbak?

Orin said...

jadi pengen nonton filmnya mba. Saya pernah mempertahankan (semacam) idealisme walopun mungkin skalanya jauh lebih kecil dari sang tokoh wanita di film, dan memang sulit sekali konsekuensinya, sekaligus mendebarkan ^^

ningsyafitri said...

Iya, Mba...
Ini adalah jalan saya, dan saya siap menerima segala konsekuensi yang ada... :)
Walaupun mungkin di tengah jalan pasti ada 'kerikil2'nya...

Kita butuh keyakinan kalau kita bisa menghandle...
SEMANGAT...
*waduhhh, curcol nih Ningningnya...

Sarah said...

emang butuh perjuangan yg keras untuk mempertahankan idealisme, sampe akhirnya menemukan satu titik : harus tetap bertahan atau menyerah dg keadaan. jd pengen nonton pilemnya nih :)

Life In Mono said...
This comment has been removed by the author.
Life In Mono said...

ayo mau banget tuh kopdar...kalo lo ke bandung kabarin di blog gue ya...kalo pas gue ke jakarta gue kabarin di blog lo ...okay ?

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" said...

kayaknya film bagus dari ceritanya yah?:)

Unknown said...

Akmal: nah, buruan tonton deh, Mas!
Dwi: freedom writer, ok, noted ;)
Chimenk: hee...lucu juga ya lo kalo lagi ngomong serius gitu? =p
Ajeng: nah, Jeng, susah jg nyeritainnya. nonton aja deh ya, Neng?
Orin: mungkin kita semua pernah mengalami pergulatan semacam itu... moga kita selalu diberi kemudahan ya..
Ning: wah....kamu mah di sana curcol di sini curcol, Ning!
nurlailazahra: ^_^
Wuri: ya udin, atur aja deh.
Nuel: BAGUS, Nuel!!!! hunting deh film itu.

ketty husnia said...

spt simalakama ya mbak,..:)

Rindu Senjani said...

sekalian dijadiin film aja.. ehehehe

Meutia Halida Khairani said...

huummm, pernah denger sih Nothing but The Truth tapi belom pernah nonton..
kalo cewek itu pasti jurnalis yg sangat hebat. klo jurnalis infotainment sih, kayaknya ga mungkin sampe membeli idealisme se-mati2an ini.

Unknown said...

Ketty: hmm...iya juga sih, Mbak. pilihan yang sulit.
Wicak: hah, emang tu pelem, Oom.
Meutia: ho oh, Mut, bukan jurnalis infotainment. nonton deh film ini.

Lyliana Thia said...

Kalau keputusannya diambil demi sebuah jalan yg "lurus" mudah2an akan ada jalan keluar dari Tuhan nantinya...

salut sama siapapun yg menjunjung tinggi kode etik :-)

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.