Aku:
Sejak kapan Bandung punya musim gugur?
Aku yang lain:
Itu pasti sejak dia meninggalkanmu.
Aku:
Dia tidak meninggalkanku, dia masih ada di gunung itu. Aku yakin sekarang dia sedang tidur.
Aku yang lain:
Aku tau, tidur untuk selamanya. Kau hadapilah kenyataan itu.
Aku:
Ga mungkin, pasti dia hanya tidur beberapa jam. Dia pasti terbangun kala mendengar jejak-jejak kaki tim pencari.
Aku yang lain:
Kau gila! Dia sudah mati!
Aku:
Kau yang gila, sejak kapan di Bandung ada musim gugur?
Aku yang lain:
Itu hanya untukmu, sejak pesawat itu jatuh, akal sehatmu pun jatuh. Kau meyakini hal yang ga mungkin terjadi, kau meyakini hal yang seharusnya kau ingkari. Harusnya kau yakin saja bahwa sekarang adalah musim gugur di Bandung.
Aku:
Kau benar-benar gila! Kau bilang aku gila, aku adalah kau dan kau adalah aku. Kalau aku gila, itu artinya kau juga gila!
Aku yang lain:
Aku? Gila? Hey, jelas-jelas aku beda dengan kau. Kita ada di satu tubuh, tapi sebenarnya hidup kita masing-masing. Aku adalah aku dan kau tetap kau. Ya, kau yang gila.
Aku:
Kenapa kau selalu mendebatku? Aku hanya meyakini apa yang kuyakini. Harusnya kau menghormati itu.
Aku yang lain:
Karena itulah fungsiku. Kalau aku ga ada, kau pasti lebih gila. Sudah, buang saja waham-waham yang kau yakini itu. Kembalilah ke dunia nyata. Dia sudah mati! Kekasihmu sudah mati! Kau lihat jasad-jasad dimasukkan ke dalam kantung mayat? Ada saatnya juga jasad kekasihmu dimasukkan ke sana, tunggu saja waktunya.
Aku:
Jasadnya ga akan pernah ada di kantung mayat itu, sebab kutahu dia hanya tertidur di belantara sana. Kala dia dengar langkah jejak-jejak si pencari, dia pasti kan terbangun dan kami pasti bertemu kembali di Bandung.
Aku yang lain:
Bagaimana kalau si pencari tak pernah menjejakkan kakinya di tempat kekasihmu terbaring?
Aku:
Dia akan tetap tertidur di sana sampai saatnya nanti dia terbangun dan kami pasti bertemu kembali.
Aku yang lain:
Gila!
Sejak kapan Bandung punya musim gugur?
Aku yang lain:
Itu pasti sejak dia meninggalkanmu.
Aku:
Dia tidak meninggalkanku, dia masih ada di gunung itu. Aku yakin sekarang dia sedang tidur.
Aku yang lain:
Aku tau, tidur untuk selamanya. Kau hadapilah kenyataan itu.
Aku:
Ga mungkin, pasti dia hanya tidur beberapa jam. Dia pasti terbangun kala mendengar jejak-jejak kaki tim pencari.
Aku yang lain:
Kau gila! Dia sudah mati!
Aku:
Kau yang gila, sejak kapan di Bandung ada musim gugur?
Aku yang lain:
Itu hanya untukmu, sejak pesawat itu jatuh, akal sehatmu pun jatuh. Kau meyakini hal yang ga mungkin terjadi, kau meyakini hal yang seharusnya kau ingkari. Harusnya kau yakin saja bahwa sekarang adalah musim gugur di Bandung.
Aku:
Kau benar-benar gila! Kau bilang aku gila, aku adalah kau dan kau adalah aku. Kalau aku gila, itu artinya kau juga gila!
Aku yang lain:
Aku? Gila? Hey, jelas-jelas aku beda dengan kau. Kita ada di satu tubuh, tapi sebenarnya hidup kita masing-masing. Aku adalah aku dan kau tetap kau. Ya, kau yang gila.
Aku:
Kenapa kau selalu mendebatku? Aku hanya meyakini apa yang kuyakini. Harusnya kau menghormati itu.
Aku yang lain:
Karena itulah fungsiku. Kalau aku ga ada, kau pasti lebih gila. Sudah, buang saja waham-waham yang kau yakini itu. Kembalilah ke dunia nyata. Dia sudah mati! Kekasihmu sudah mati! Kau lihat jasad-jasad dimasukkan ke dalam kantung mayat? Ada saatnya juga jasad kekasihmu dimasukkan ke sana, tunggu saja waktunya.
Aku:
Jasadnya ga akan pernah ada di kantung mayat itu, sebab kutahu dia hanya tertidur di belantara sana. Kala dia dengar langkah jejak-jejak si pencari, dia pasti kan terbangun dan kami pasti bertemu kembali di Bandung.
Aku yang lain:
Bagaimana kalau si pencari tak pernah menjejakkan kakinya di tempat kekasihmu terbaring?
Aku:
Dia akan tetap tertidur di sana sampai saatnya nanti dia terbangun dan kami pasti bertemu kembali.
Aku yang lain:
Gila!