Teman kami terkesima ketika suami saya menceritakan bahwa kami sudah memiliki dua anak. Teman kami ini, laki-laki, wong Semarang yang menikah dengan orang Amerika sana, sudah lebih dulu menikah dibanding kami. Kalau tidak salah, mereka menikah untuk waktu hampir lima tahun, tapi belum memiliki momongan. Bukan, bukan karena mereka belum dikaruniai anak, tapi karena hal prinsip yang mereka anut, karena pemikiran mereka, karena idealisme mereka, bahwa untuk memiliki anak itu harus siap segala-galanya, terutama materi.
Tidak dipungkiri, itu betul. Kami berdua setuju. Tapi, wah, sampai kapan kita akan mengumpulkan materi baru kemudian merencanakan memiliki anak? Waktu terus berjalan....usia kita pun berkurang, apakah materi yang kita kumpulkan akan benar-benar cukup?
Teman kami ini tinggal di Amerika. Kabar terakhir kami dapat bahwa teman kami yang wong Semarang ini belum juga mendapat Green Card. Sulit sekali katanya, ada saja persyaratan yang ternyata belum dipenuhinya. Kata suami saya, mereka berdua struggle sekali dengan kehidupan mereka. Kata saya, "Kita semua sama, Hon, struggle dengan kehidupan kita. Bedanya, kita yakin akan Allah. Kita tidak merasa sendiri menjalani hidup ini karena Allah bersama kita. Perhitungan mereka matematis, kita tidak. Itu bedanya. Ada kalanya suatu permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan perhitungan matematis."
Lalu saya pun teringat percakapan saya dengan seorang pegawai percetakan di Jakarta. Bapak dari tiga orang anak, sebut saja namanya Pak Ahmad. Bertahun-tahun lalu, ketika saya masih duduk di semester tujuh bangku kuliah, Pak Ahmad bercerita kepada saya mengenai peghasilannya. Dia menyebutkan sebuah nominal yang mencengangkan saya. Bagaimana tidak, angka itu sama dengan angka yang saya peroleh dari orangtua saya setiap bulannya untuk biaya hidup kuliah di Bandung. Dengan angka yang sama ia harus menghidupi keluarganya di jakarta.
Mengetahui saya terkejut, Pak Ahmad menasihati saya. Intinya adalah seperti ini. Dalam menjalani hidup ini, kita harus yakin akan pertolongan Allah. Saya dan istri saya (istrinya membantu Pak Ahmad dengan berjualan makanan-makanan ringan) tidak pernah habis pikir, bagaimana kami bisa menghidupi ketiga anak kami, menyekolahkan mereka sampai sekarang. Pertanyaan itu tidak pernah bisa dijawab dengan logika karena Allah mengirimkan jawaban dan pertolongan dari arah yang tak terduga.
Kembali ke cerita tentang teman kami tadi. Meski berbeda, tapi kami saling menghargai keyakinan masing-masing. Kami dengan perhitungan dan keyakinan kami sendiri, mereka dengan perhitungan dan keyakinan mereka sendiri. Meski dengan cara yang berbeda, kami semua menjalani hari-hari kami dengan rasa tanggung jawab.
Tidak dipungkiri, itu betul. Kami berdua setuju. Tapi, wah, sampai kapan kita akan mengumpulkan materi baru kemudian merencanakan memiliki anak? Waktu terus berjalan....usia kita pun berkurang, apakah materi yang kita kumpulkan akan benar-benar cukup?
Teman kami ini tinggal di Amerika. Kabar terakhir kami dapat bahwa teman kami yang wong Semarang ini belum juga mendapat Green Card. Sulit sekali katanya, ada saja persyaratan yang ternyata belum dipenuhinya. Kata suami saya, mereka berdua struggle sekali dengan kehidupan mereka. Kata saya, "Kita semua sama, Hon, struggle dengan kehidupan kita. Bedanya, kita yakin akan Allah. Kita tidak merasa sendiri menjalani hidup ini karena Allah bersama kita. Perhitungan mereka matematis, kita tidak. Itu bedanya. Ada kalanya suatu permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan perhitungan matematis."
Lalu saya pun teringat percakapan saya dengan seorang pegawai percetakan di Jakarta. Bapak dari tiga orang anak, sebut saja namanya Pak Ahmad. Bertahun-tahun lalu, ketika saya masih duduk di semester tujuh bangku kuliah, Pak Ahmad bercerita kepada saya mengenai peghasilannya. Dia menyebutkan sebuah nominal yang mencengangkan saya. Bagaimana tidak, angka itu sama dengan angka yang saya peroleh dari orangtua saya setiap bulannya untuk biaya hidup kuliah di Bandung. Dengan angka yang sama ia harus menghidupi keluarganya di jakarta.
Mengetahui saya terkejut, Pak Ahmad menasihati saya. Intinya adalah seperti ini. Dalam menjalani hidup ini, kita harus yakin akan pertolongan Allah. Saya dan istri saya (istrinya membantu Pak Ahmad dengan berjualan makanan-makanan ringan) tidak pernah habis pikir, bagaimana kami bisa menghidupi ketiga anak kami, menyekolahkan mereka sampai sekarang. Pertanyaan itu tidak pernah bisa dijawab dengan logika karena Allah mengirimkan jawaban dan pertolongan dari arah yang tak terduga.
Kembali ke cerita tentang teman kami tadi. Meski berbeda, tapi kami saling menghargai keyakinan masing-masing. Kami dengan perhitungan dan keyakinan kami sendiri, mereka dengan perhitungan dan keyakinan mereka sendiri. Meski dengan cara yang berbeda, kami semua menjalani hari-hari kami dengan rasa tanggung jawab.
14 comments:
matematika Alloh beda sama matematika kita ya mbak... emang kalo yakin, rejeki tuh bakal ada aja bentuknya. *inget kata mentorku dulu*
Subhanalloh..memang hitung2an Alloh ta'ala akan bisa dimengerti, dipahami dan terjangkau oleh pemikiran manusia.. yang dibutuhkan hanya Iman dan keyakinan...
kami sekeluargapun sudah sering mengalaminya :)
Iya, saya heran dngn orang jaman dl. Anak bnyk tp bs sekolah n sukses semua. Beda ama orang skrg. Anak 1 aja kudu ke luar negri.
Mgkn perhitungan kita yg beda x ya hehe
hahaha, betul banget.... orang tua saya termasuk orang tua jadul (anaknya banyak/enam). tapi alhamdulilah semuanya kuliah. padahal ekonomi keluarga biasa-biasa aja.... *malah curhat
banyak yang ga bisa dijelasin ma logika emang. matematika terlalu sempit untuk menjelaskannya.
yup mba...
rejeki itu Allah yang ngatur, kita tentunya harus berusaha semaksimal mungkin
orang tua chika punya anak empat..dengan pekerjaan yang sangat sederhana.. tapi Allah mencukupi kami dengan kesehatan, dan juga pendidikan yang layak
Bener mbak, rezeqi kan ndak ada yang tahu. semoga temen mbak tadi sadar, kita memang perlu materi untuk hidup tapi kalau terlalu ngoyo juga ndak baik. kita serahkan saja sama Allah Swt.
mau nanya si bule keyakinannya gimana? sori kalo sara yaah
setiap makhluk yang terlahir didunia sudah punya kadar ukuran rizki masing² Kak,,,jadi kalu kita yang menghitung pasti banyak melesetnya,,,
dunia ini emang sempit kalo cuma berpikiran secara logika aja. nothing impossible deh bahasa kerennya hehehe
hmm, jadi teringat, dulu aku pernah berpikir, keberkahan rejeki bukan terletak pada banyak atau sedikitnya, tp lebih kepada seberapa besar rejeki itu dipergunakan untuk hal2 yg bermanfaat, good opinion mbak.....
rejeki??, setahu saya, Allah itu mencurahkan rejeki dibumi itu dengan begitu derasnya, ibaratkan kalau Kran air itu tergantung bagaimana kita memutar kran airnya aja,,
dimana ada kemauan, disitu ada jalan :)
iya rejeki kan ditangan Allah. yang penting kita harus punya daya dan usaha, gak bisa lemah semangat dan kuat dlm menghadapi apa jua cabaran yg Allah kasih. bener kann?
Pertolongan dari Allah emang datangnya nggak diduga2 yah Mba...
Nggak akan bisa masuk logika manapun yg namanya mukjizat Allah :-)
Post a Comment