Saya pernah ada di sana, mendarat di aspalnya bandara itu. Sebuah
pesawat capung akhirnya mengantarkan saya ke negeri Sultan Baabullah.
Waktu itu hujan rintik-rintik kecil. Saya berlari-lari dari pesawat
menuju tempat pengambilan bagasi. Setetes dua tetes air mengenai hijab
putih yang saya kenakan. Air hujan Ternate.
Lapar dan lelah. Dari situ saya dibawa entah ke dusun apa namanya. Di dusun inilah saya diajak santap siang. Rumah makan sederhana, pemiliknya orang Makassar. Berceritalah ibu pemilik rumah makan ini tentang kisah hijrahnya dari Makassar ke Ternate. Kisah yang sebenarnya saya pun sudah lupa :p Yang masih saya ingat adalah sosok si ibu yang kala itu mengenakan daster. Santap siang itu biasa saja, kehangatan penyambutan ibu itu yang luar biasa.
Perjalanan masih panjang, saya masih harus meneruskan langkah saya dengan sebuah kapal kayu untuk menyeberang ke Pulau Bacan. Hari itu masih siang, sedangkan kapal baru ada pukul 6 petang. Akhirnya, saya manfaatkan waktu untuk berkeliling kota Ternate ini.
Sesekali saya turun dari mobil, berbincang-bincang dengan penduduk sekitar. Kemudian saya lihat sekeliling. Tanah. Pasir. Laut. Pohon kelapa. Parabola. Ya, rata-rata penduduk di sini memiliki antena parabola. Waktu itu siaran televisi sulit mereka dapat, karena itulah mereka memasang parabola.
Ah, sudah sore, saya pun diantarkan ke dermaga tempat kapal kayu itu berlabuh. Mereka sudah membelikan tiket untuk saya. Syukurlah, saya kebagian kabin. Setelah tiga jam perjalanan udara, kini saatnya untuk menikmati delapan jam perjalanan laut. Langit dan udara malam jadi teman, juga kegelapan.
Tidak....!!! Sinyalnya lemah, waktu saya tinggal beberapa menit lagi untuk update status di friendster =p Tapi sayang, saya tidak bisa membukanya :( Baiklah, untuk sementara ga eksis dulu ^_^
Masih dapat saya lihat rangkaian kayu kapal ini. Masih dapat saya ingat gelap-gelapnya kulit orang-orang di sini dan kekarnya tubuh-tubuh mereka. Masih dapat saya hirup bau laki-laki di sini, aroma laut. Pun masih saya simpan tatapan-tatapan tajam penumpang-penumpang kapal ini. Ada yang aneh kah dengan diri saya? Atau dengan kehadiran saya? Saya merasa takut. Tuhan, lindungi saya.
Delapan jam lagi baru bisa saya jejak tanah Bacan. Sekarang pukul 10.00 malam, waktu indonesia bagian barat. Artinya sudah jam 12 malam di sini. Saya terjaga dan memilih berdiri di depan kabin saya. Seorang laki-laki, penduduk asli, pikir saya, berdiri sendiri menatap laut. Tak lama, ia pun menyadari kehadiran saya. Saya takut dengan tatapannya. Hampir semua penumpang kapal ini menatap saya tajam seperti itu. Takut, namun saya tetap berdiri memandang laut, membiarkan laki-laki itu menatap saya.
Sepertinya sudah hampir semua bagian kapal saya jejaki, termasuk ruang nahkodanya. Sempat pula saya berbincang-bincang dengannya. Tatapan nahkoda ini tidak tajam seperti para penumpangnya. Ah, tentu saja, dia harus menatap tajam lautan di depannya. GR ya saya?
Oh ya, saya juga sempat terkunci di dalam kamar mandi kapal ini. Kuncinya tidak bisa saya buka dan parahnya lagi, tidak ada orang di luar! Kamar mandi ini terletak di bagian bawah, ada di ruang cargo. Seram sekali tempat ini dan saya sendirian waktu itu. Beberapa menit terkunci, akhirnya saya bisa membuka pintu kamar mandi ini. Dengan bergegas saya tinggalkan ruang bawah kapal ini. Takuuuuuuut!!!!
Saya temui beberapa orang yang teler, dengan botol bir di sisi mereka. Ngeri. Langsung saja saya lewati mereka ini. Dengan langkah perlahan saya lewati mereka semua. Ada-ada saja. Kenapa saya melakukan ini ya? Saya bisa saja terlelap di kabin, tapi saya lebih memilih menikmati suasana ini. "Suatu saat saya saya akan merindukan ini," begitu pikir saya. Ya, dan inilah saatnya saya merindukan perjalanan itu.
Lapar dan lelah. Dari situ saya dibawa entah ke dusun apa namanya. Di dusun inilah saya diajak santap siang. Rumah makan sederhana, pemiliknya orang Makassar. Berceritalah ibu pemilik rumah makan ini tentang kisah hijrahnya dari Makassar ke Ternate. Kisah yang sebenarnya saya pun sudah lupa :p Yang masih saya ingat adalah sosok si ibu yang kala itu mengenakan daster. Santap siang itu biasa saja, kehangatan penyambutan ibu itu yang luar biasa.
Perjalanan masih panjang, saya masih harus meneruskan langkah saya dengan sebuah kapal kayu untuk menyeberang ke Pulau Bacan. Hari itu masih siang, sedangkan kapal baru ada pukul 6 petang. Akhirnya, saya manfaatkan waktu untuk berkeliling kota Ternate ini.
Sesekali saya turun dari mobil, berbincang-bincang dengan penduduk sekitar. Kemudian saya lihat sekeliling. Tanah. Pasir. Laut. Pohon kelapa. Parabola. Ya, rata-rata penduduk di sini memiliki antena parabola. Waktu itu siaran televisi sulit mereka dapat, karena itulah mereka memasang parabola.
Ah, sudah sore, saya pun diantarkan ke dermaga tempat kapal kayu itu berlabuh. Mereka sudah membelikan tiket untuk saya. Syukurlah, saya kebagian kabin. Setelah tiga jam perjalanan udara, kini saatnya untuk menikmati delapan jam perjalanan laut. Langit dan udara malam jadi teman, juga kegelapan.
Tidak....!!! Sinyalnya lemah, waktu saya tinggal beberapa menit lagi untuk update status di friendster =p Tapi sayang, saya tidak bisa membukanya :( Baiklah, untuk sementara ga eksis dulu ^_^
Masih dapat saya lihat rangkaian kayu kapal ini. Masih dapat saya ingat gelap-gelapnya kulit orang-orang di sini dan kekarnya tubuh-tubuh mereka. Masih dapat saya hirup bau laki-laki di sini, aroma laut. Pun masih saya simpan tatapan-tatapan tajam penumpang-penumpang kapal ini. Ada yang aneh kah dengan diri saya? Atau dengan kehadiran saya? Saya merasa takut. Tuhan, lindungi saya.
Delapan jam lagi baru bisa saya jejak tanah Bacan. Sekarang pukul 10.00 malam, waktu indonesia bagian barat. Artinya sudah jam 12 malam di sini. Saya terjaga dan memilih berdiri di depan kabin saya. Seorang laki-laki, penduduk asli, pikir saya, berdiri sendiri menatap laut. Tak lama, ia pun menyadari kehadiran saya. Saya takut dengan tatapannya. Hampir semua penumpang kapal ini menatap saya tajam seperti itu. Takut, namun saya tetap berdiri memandang laut, membiarkan laki-laki itu menatap saya.
Sepertinya sudah hampir semua bagian kapal saya jejaki, termasuk ruang nahkodanya. Sempat pula saya berbincang-bincang dengannya. Tatapan nahkoda ini tidak tajam seperti para penumpangnya. Ah, tentu saja, dia harus menatap tajam lautan di depannya. GR ya saya?
Oh ya, saya juga sempat terkunci di dalam kamar mandi kapal ini. Kuncinya tidak bisa saya buka dan parahnya lagi, tidak ada orang di luar! Kamar mandi ini terletak di bagian bawah, ada di ruang cargo. Seram sekali tempat ini dan saya sendirian waktu itu. Beberapa menit terkunci, akhirnya saya bisa membuka pintu kamar mandi ini. Dengan bergegas saya tinggalkan ruang bawah kapal ini. Takuuuuuuut!!!!
Saya temui beberapa orang yang teler, dengan botol bir di sisi mereka. Ngeri. Langsung saja saya lewati mereka ini. Dengan langkah perlahan saya lewati mereka semua. Ada-ada saja. Kenapa saya melakukan ini ya? Saya bisa saja terlelap di kabin, tapi saya lebih memilih menikmati suasana ini. "Suatu saat saya saya akan merindukan ini," begitu pikir saya. Ya, dan inilah saatnya saya merindukan perjalanan itu.
***
Saya akan ada di sini selama sebelas hari. Saya benar-benar excited, tak sabar dengan apa yang akan saya temui esok lusa; Halmahera Selatan dengan pesonanya.
Di kala senggang, saya berjalan-jalan. Hanya menghabiskan waktu saya dengan menikmati alam dan manusia. Tanpa televisi, tanpa koneksi internet, tanpa pusat-pusat perbelanjaan. Anak-anak dan dewasa, pria dan wanita. Senyum, sapa, gigi putih mereka. Ya Tuhan, kangen banget. Kangennnnn banget.
Pernah saya membayangkan menetap di sini untuk beberapa bulan. Memantapkan pijakan saya di tanahnya. Menorehkan telapak kaki saya di pasirnya. Membuang napas saya bersama udara segarnya. Berbaur dan berbagi cerita dan ilmu dengan orang-orangnya.
Di suatu sore, saya sholat di masjid sederhana di suatu desa. Lagi-lagi saya lupa nama desa itu. Banyak anak sedang bermain di halamannya, menyenangkan, saya pun teringat masa-masa kecil saya. Lalu seorang ibu menghampiri saya dan kami pun saling bercerita. Kala itu saya masih muda, enam tahun yang lalu.
Di sore yang lain saya diajak berkeliling lagi dan mampirlah kami di suatu warung. Teronggok di depan warung itu durian-durian besar dan segar. Saya bukan pecinta durian, tapi sore itu saya mencicipi durian yang nikmatnya luar biasa. Durian ini dinamakan Durian Mentega karena warna daging buahnya yang kuning seperti mentega. Ya, saya setuju dengan nama itu :) Kapan lagi saya temukan durian mentega itu?
***
Hari Minggu, hari bebas tugas. Acara saya hari itu adalah memancing di tengah laut. Jadi, dengan speedboat kami dibawa ke tengah laut. Matahari tidak terlalu terik, angin kencang, laut tenang, dan yang pasti alat-alat pancing. Saya berdiri menatap laut, subhanallah, luas sekali tempat ini. Termenung sejenak, tafakur, lalu akhirnya saya bergabung dengan yang lain, saatnya memancing!!!! Sejam, saya hanya dapat satu ikan, lalu bosan. Saya benar-benar tidak suka memancing! Tapi saya benar-benar menikmati berada di tengah laut di bawah langit dan sinar matahari kala itu.
Aha! Dapat! Satu teriakan saya dengar. Satu teriakan lagi, dan lagi. Di antara mereka ada yang dapat ikan besar, ikan kecil seperti saya, dan satu yang unik, ikan durian. Hah, ikan durian? Yup! Ikan ini di laut tampak sama dengan ikan lainnya, tapi ketika diangkat ke udara (ke darat) badannya menggembung dan berduri-duri seperti durian. Unik, sayang, saya sudah tidak punya fotonya lagi :(
Well, akhirnya acara mancing Minggu itu selesai kami pun dibawa ke tempat penyimpanan ikan. Di tempat ini, ikan-ikan yang ditangkap nelayan disimpan. Seorang petugas menjelaskan proses dari awal ikan datang sampai akhirnya dijual. Wuihhh......dingin sekali di tempat ini, suhunya minus sekian derajat celcius!Brr...... Lagi-lagi sayang, dokumentasi fotonya hilang :(
Oya, ketika saya di sana, sebenarnya di salah satu hari itu ada gempa, tapi saya tidak merasakannya. Justru saya tahu dari sms ibu saya di Jakarta. Katanya, saya susah dihubungi. Well, apa yang bisa diharapkan dari sebuah penginapan kecil yang jauh dari kota? Sinyal hanya saya dapat di luar kamar. Selebihnya, saya mati gaya.
***
Alhamdulillah, sebelas hari di sana, tugas selesai sudah. Saatnya kembali ke Jakarta. Perjalanan laut delapan jam, pesawat capung satu jam, pesawat besar dua jam, dan perjalanan dari Soetta ke rumah satu jam, home sweet home, akhirnya saya pulang.
***
Catatan ini saya tulis kembali sebagai obat kangen saya pada Bumi Halmahera. Catatan tentang perjalanan ini pernah saya publish di blog saya di friendster, beserta beberapa foto. Tapi, berhubung friendster lama sudah tidak bisa diakses lagi alias udah dihapus seperti yang dijelaskan Chimenk di link ini, jadilah saya tulis kembali catatan ini.
Suatu saat saya pasti ke sana lagi, menikmati senja di Halmahera, laut dan pantainya yang cantik.
(Di suatu bulan di tahun 2006)