Wednesday, October 26, 2011

Cerita dalam Sepiring Nasi Goreng

Saya mengenalnya sangat lama. Ketika dia belum mengenal saya, ketika saya masih menjadi penggemar rahasianya. Saya mengagumi sosoknya yang sederhana dan bersahabat, saya benar-benar mengaguminya.

Tidak dipungkiri, ketertarikan saya pertama adalah pada matanya. Bukan hanya wajahnya secara keseluruhan yang rupawan, tapi di sorot matanya saya menemukan sesuatu. Sesuatu yang tidak pernah saya temukan di wanita lain. Sesuatu yang kelak menuntun saya untuk selalu menjaga sorot mata itu.

Pandangannya teduh, meneduhkan jiwa saya yang ketika itu bergejolak. Ucapannya lembut, membuat salju di hati saya seketika meleleh. Lakunya seperti warna-warni pelangi yang sanggup mencerahkan hari saya yang baru saja diguyur hujan.

Ketika akhirnya kami ditakdirkan bersama, betapa bahagianya saya. Kini mata dan pandangannya yang meneduhkan itu begitu dekat dengan saya. Nikmat Allah yang mana lagi yang saya dustakan?

Saya menyayanginya sangat. Saya akan menjaganya senantiasa, itu janji saya. Saya pun kemudian menikahinya, karena Allah. Saya mencintainya karena Allah.

Setahun, dua tahun, dan tiga tahun. Cinta kami tumbuh bersama dalam suatu mahligai rumah tangga. Nikmat Allah yang mana lagi yang kami dustakan? Saya sangat bersyukur memilikinya. Saya masih mencintainya, karena Allah.

Lima belas, sembilan belas, dua puluh enam tahun. Cinta kami berkembang dan semakin matang. Nikmat Allah yang mana lagi yang kami dustakan? Sejauh ini saya sangat mencintainya, karena Allah.

Tiga puluh, tiga puluh tiga, tiga puluh tujuh. Cinta kami masih ada. Meski suatu penyakit menghilangkan fungsi matanya, namun bagi saya mata itu tetap yang paling menarik. Nikmat Allah yang mana lagi yang saya dustakan? Saya akan selalu mencintainya, karena Allah.

Nasi goreng buatannya adalah yang terenak bagi saya. Sekarang, giliran saya menghidangkan nasi goreng untuknya. Akan saya suapi sendok demi sendok ke mulutnya, sambil saya pandangi matanya. Bagaimanapun, saya masih menemukan sorot mata sekian puluh tahun yang lalu di mata itu. Tak pernah berubah. Saya pun bersyukur dapat menjaganya.

10 comments:

Ajeng Sari Rahayu said...

senangnyaa, kehidupan yang saling melengkapi

Miss U said...

nice story... :D

Sarah said...

nasi gorengnya satu ya mbak, gak pedes :D

Nuel Lubis, Author "Misi Terakhir Rafael: Cinta Tak Pernah Pergi Jauh" said...

wuah mbak tua juga yah? usia perkawinannya aja yang ke37. #gubrak.

hoedz said...

pasti yang menyuarakan ini adalah lelaki yang sangat sayang pada istrinya .. seseorang yang tidak pernah mendustakan nikmat Allah ..

semoga saya bisa begitu .. hehehehe .. :)

Lidya Fitrian said...

so sweet mbak, semoga langgeng terus ya

rabest said...

waaahhh.... :')

bikin ngiri deh...

socafahreza's blog said...

wah cerita yag bagus :)..

Orin said...

Aiih...manis sekali ceritanya mba Rif..

Adi Yulianto said...

update dong mbak blognya..:)