Langit tak lagi perkasa, runtuh ia kini
Gunung tak lagi percaya diri, menunduk ia kini
Samudera tak lagi terhampar, terbungkus ia kini
Seperti helai daun kering yang lepas dari dahan
Seperti bayi mungil yang menangis kehausan
Seperti butir-butir pasir yang terbawa air
Aku rapuh
--------------------
Detak
suara jarum jam jelas sekali terdengar di telingaku. Lima menit lagi
menuju pukul dua dini hari dan aku belum terpejam. Kubuka tirai jendela
kamar ini. Kamar yang kini sungguh terasa sempit. Tak lagi lapang ketika
dulu diisi dua penghuni. Tak lagi terang, tak lagi menyenangkan.
Semuanya berubah sejak kepergiannya dua bulan lalu.
Masih berdiri
memandang malam. Kulihat langit di luar pekat sangat, hitam, kelam.
Suasana ini membuat semuanya semakin terasa mencekam. Sementara itu,
bulan, malam ini ia menunjukkan bentuk sabitnya. Hanya menyisakan
sedikit cahaya yang juga sudah hampir tertutup oleh arak-arakan awan.
Tidak ada bintang, hanya ada selimut kabut menghampar di langit di atas
atap rumahku. Semuanya kelabu, kelam, suram, tidak ada yang indah dari
malam ini. Aku tidak suka suasana ini.
Dahan-dahan bergerak
mengikuti irama kesunyian. Sesekali mereka bersenggolan. Bersentuhan.
Berangkulan. Saling berbisik menceritakan apa yang mereka tahu tentang
manusia. Aku seperti mendengar suara mereka, dahan-dahan itu
membicarakan aku. Ada yang menyindir dan mencibir, ada yang iba, ada
juga yang datar-datar saja. Ah, apa aku sudah gila?
Sepertinya
angin di luar sana kencang berhembus. Seiring beratnya napas kehidupan
yang kuhembuskan, seiring panasnya napas kehidupan yang pelacur-pelacur
hembuskan. Seiring debu jalanan yang beterbangan karenanya. Aku tidak
tahu pasti. Yang kutahu, malam memang sering menunjukkan keangkuhannya
pada alam. Lalu manusia, kadang menjadi korban keangkuhan itu atau
bahkan sebaliknya, sama angkuhnya seperti sang malam.
Keanu sudah
terlelap di kamarnya, tenggelam dalam mimpi indah anak-anak, mimpi yang
tidak pernah padam ketika ia dewasa nanti. Mimpi-mimpi akan cita-citanya
yang mengesankan. Ya, mengesankan karena aku tidak pernah menyangka ia
punya mimpi sebesar itu. Pemikiran-pemikirannya jauh ke depan, melampaui
batas logika berpikir anak seusianya. Harapan-harapannya, jauh pula
melampaui batas keinginan anak-anak seusianya. Ia berbeda. Keanu berbeda
dengan anak-anak lainnya. Lebih jauh, ia sangat istimewa di mataku.
Tapi
entah malam ini, apakah mimpinya indah seperti kemarin-kemarin ketika
Sang Ksatria, ayahnya tercinta masih ada? Apakah mimpinya masih sama?
Mimpi akan petualangannya di luar angkasa, mimpi akan
penemuan-penemuannya yang sangat bermanfaat bagi dunia. Entahlah, dua
bulan ini, Keanu pun seperti malam tak berbintang. Kelam, suram.
Wajahnya kerap muram. Bukan lagi Keanu yang penuh semangat dan
keceriaan. Bukan lagi Keanu yang selalu optimistis mencapai impiannya.
Kepergian ayahnya menghapus semangat dirinya dan menyapu keceriaan dari
wajah manisnya. Sedih aku melihatnya.
Masih berdiri menatap malam,
sambil kulipat kedua lenganku ke dada. Dari jendela, kuterawang
angkasa. Menyusuri jalan-jalan setapaknya. Singgah di setiap bintang
yang kulewati. Kutembus segala cahaya, yang mungkin bisa mengembalikan
semua yang pernah ada. Cintaku, keceriaan Keanu, kelapangan kamar ini.
Semuanya, semua yang pernah ada dua bulan lalu. Namun, cahaya apa pun
sepertinya tak mampu mengembalikan semua itu. Bahkan untuk sekadar
menunjukkan jalannya, tak ada yang bisa.
Kutarik napas
dalam-dalam, kuhembuskan. Berat sekali aku menerima semua ini. Setelah
apa yang sudah kulakukan padanya selama ini? Sembilan tahun hidup
bersama, mencintai, menjaganya. Lalu, inikah yang kudapat? Apakah
benar-benar ini? Sungguh pantaskah aku mendapatkannya? Siapa yang Maha
Adil kini? Adakah Tuhan memang sayang padaku? Menimpakan semua dusta
kepadaku? Menimpakan semua cela kepadaku? Adakah selama ini Dia
bersamaku? Baru kali ini aku menyalahkan Tuhan. Sungguh, aku tak mau.
Dan
meneteslah air mataku. Butir demi butir jatuh membasahi pipiku. Semakin
kutahan, semakin deras ia mengalir. Air mata ini, aku tidak pernah
mengharapkan ia jatuh karena alasan ini. Akan tetapi, harapan memang
tidak selalu sesuai kenyataan. Kemudian di sinilah aku, berdiri di dalam
kenyataan. Ketiadaan. Kehampaan. Tidak lagi aku berdiri di dalam
harapan. Kosong. Aku tidak lagi memiliki harapan. Tidak. Aku hampa. Aku
merasa hampa. Aku bahkan hampir tidak mau mengenal lagi sang harapan.
Tak
terhitung sudah butir air yang jatuh membanjiri baju tidurku. Sekarang
aku duduk, masih dengan segala kesedihan. Kuseka tumpahan air mata ini
dengan tanganku. Kutahan suaraku agar tidak membangunkan Keanu,
setidaknya kucoba. Aku lelah. Sangat. Bukan karena jutaan waktu yang
telah kulalui bersamanya, bersama cintaku. Bukan karena itu, tapi karena
apa yang kualami hari ini. Apa yang kulihat hari ini. Apa yang kudengar
hari ini.
Kertas itu masih tergeletak di atas meja riasku. Kertas
putih dengan angka-angka dan kata-kata yang tidak kumengerti. Kertas
yang sungguh bisa membalikkan semuanya, membalikkan duniaku, membalikkan
hidupku, mengubah dunia Keanu. Hanya penjelasan dokter itu, dokter
Rita, yang membuatku mengerti apa makna semua yang tertulis di situ.
Hanya itu.
Suara dokter Rita masih terngiang-ngiang di telingaku.
Kata demi kata masih kuingat. Masih tergambar jelas ekspresi datar nan
profesionalnya di benakku. Dia berusaha menjelaskan dengan tegar, tanpa
tercampur rasa iba atau seribu tanya. Jujurkah dokter Rita padaku? Apa
yang dijelaskannya padaku, benarkah semua itu? Dapatkah kupercaya ia?
Tertukarkah kertas itu dengan pasien yang lain? Angka-angka itu,
mungkinkah itu semua milik orang lain? Bukan aku.
Mungkinkah ada
kesalahan yang bisa membalikkan keadaan ini? Mengembalikan lagi semua
seperti sedia kala? Berharap aku tidak pernah melihat kertas itu.
Berharap aku tidak pernah membaca angka-angka dan kata-kata dalam kertas
itu. Berharap aku tidak pernah mendengarkan penjelasan dokter Rita
mengenai hal ini. Berharap seperti itu. Akan tetapi, berharap kadang
menyakitkan. Jadi, kali ini aku tidak mau berharap. Ah tidak, aku tidak
mau terlalu berharap. Supaya jika memang harapanku tidak menjadi
kenyataan, aku tidak terlalu merasa sakit. Tidak, tidak sekali lagi
untuk rasa sakit. Cukup dua hal ini saja yang menyakitkanku, kematiannya
dan kertas putih itu.
Aku beranjak mendekati meja riasku. Kini,
aku duduk bercermin di sini. Menatap wajahku. Tidak seperti biasanya,
kulihat wajah yang menyedihkan di situ. Masih menangis aku, meratapi
kemalanganku yang tak terkira. Dengan apa yang terjadi, aku merasa
akulah orang paling menyedihkan. Demikian sedihnya hingga cermin ini pun
menangis. Menangisi aku yang sedang menangis. Tidak pernah ia menatapku
seperti itu, menyedihkan. Bahkan cermin pun mengasihani diriku,
“Kasihan sekali kau, Keira.”
Kuambil kertas putih itu. Sekali lagi
kulihat nama yang tertera di bagian atasnya. Tidak ada yang salah.
KEIRA ADAM. Kuperhatikan angka-angkanya. Semakin menjadi tangisku.
Hampir pukul setengah empat dini hari. Dan aku masih terjaga. Dalam
kegalauan, aku bertanya.
“Gerangan apa yang
terjadi, duhai Malam? Tidak cukupkah Kau ambil dia yang selalu kupuja?
Dia yang selalu kucintai. Dia yang selalu kuhormati? Dia yang selalu
kubanggakan? Pilu karena kehilangannya belum juga hilang dan tidak akan
pernah hilang hingga aku terbiasa menjalani kesendirian ini, kesendirian
tanpa cinta darinya, kekasihku.
Misteri
apa lagi yang hendak kau tunjukkan padaku, Malam? Tidak cukupkah ini?
Aku masih terlalu muda untuk ditinggal mati oleh cintaku. Aku belum
sekuat itu. Aku masih membutuhkannya di sisiku. Kadang aku berpikir kau
jahat, Malam! Mengambilnya ketika ia terlelap di pelukanku. Mengambilnya
ketika baru jutaan waktu yang kami lalui? Bukan milyaran tahun. Sungguh
tega kau, Malam! Mengapa tidak serta-merta saja kau ambil aku
bersamanya? Tidak dengan cara seperti ini seharusnya!
Aku
marah padamu, Malam! Teganya kau menjatuhkan ini semua padaku. Belum
sembuh luka yang satu, kau torehkan lagi luka yang lain. Bisa kau
jelaskan semua ini padaku, Malam? Tolonglah. Aku tidak sekuat yang kau
kira. Aku tidak sebijak yang kau kenal. Aku tidak memiliki semuanya. Aku
kecil, Malam. Aku rapuh. Tolonglah aku.”
***
Segera terbit, "Keira - Sebuah Elegi Kehidupan." Boleh pesan dari sekarang, via email ke rifka.nida@gmail.com.