Thursday, April 18, 2013

Tiga Kepik Bercerita

Akhirnya mereka bertemu juga, kali ini di Amsterdam, di Bulan Juni 2013. Alessandra (Al), Emitri (Em), dan Rhona (Rho). Sudah lama mereka bertiga merencanakan pertemuan ini, sudah sejak tiga tahun yang lalu. Begitu bahagianya mereka hingga tanpa sadar mereka melupakan lelah dan susah payah yang mereka tempuh selama perjalanan ke kota ini. Okay, waktunya pas, ketika tulip-tulip beraneka warna sempurna menarik perhatian mereka, ketika semilir angin sejuk menyentuh sayap mereka, dan ketika kincir angin berputar menyambut kedatangan mereka. Ketiganya membawa masing-masing tiga cerita berbeda. Mereka pun segera mengatur giliran bercerita yang akhirnya disepakati Em mendapat giliran pertama, setelah itu Rho, dan terakhir Al. Mereka berjanji hanya ada satu cerita di satu hari dan mereka akan memulainya esok pagi.

Keukenhof, 3 Juni 2013

Seperti biasa, Em adalah kepik yang paling tenang pembawaannya di antara mereka bertiga. Ada di antara bunga-bunga tulip di taman bunga terbesar di dunia ini membuat Em merasa nyaman. Bukan saja karena inilah tempat mereka, tetapi juga karena hinggap di salah satu bunga tulip di taman ini adalah impiannya. "Keukenhof, tidak hanya manusia yang ingin pergi ke sini, aku pun ingin," begitu katanya.

Baiklah, kemudian Em memulai ceritanya dengan anggun. Ia mengawalinya dengan menyebutkan cerita-cerita drama televisi yang selama ini mengisi kehidupan manusia. Ia baru saja tahu bahwa ternyata drama itu terkadang benar-benar nyata. Ia bercerita tentang kehidupan sebuah keluarga yang penuh intrik dan politik. Entah mengapa ia sangat tertarik mengikuti cerita ini. Begitu tertariknya hingga ia memecahkan rekornya sendiri berdiam di satu taman yang sama selama tiga bulan. Benar, di taman keluarga yang penuh intrik ini.

Em tidak pernah menyangka bahwa kehidupan manusia benar-benar penuh intrik dan politik. Begitu kejamnya mereka sampai mereka menjadi gila atau mereka memang gila dan kekejaman hanyalah akibat dari hilangnya akal mereka, ia tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Apakah bukan gila namanya jika seorang ibu berusaha menenggelamkan putrinya sendiri? Apa bukan gila namanya jika seorang ayah menyabotase harta warisan anaknya sendiri? Apa bukan gila namanya jika seorang istri ingin membunuh suaminya sendiri? Ah, sekarang dia pikir dia sendiri yang gila karena mengikuti cerita gila keluarga ini.

Kemudian Em pun melanjutkan ceritanya tentang tipu muslihat setiap orang yang ada di keluarga tersebut. Masing-masing menjadi pelaku kejahatan sekaligus menjadi korban kejahatan-kejahatan itu. Emosi hampir menjadi basi dan ilusi, hanya benar-benar nyata ketika satu kata maaf terucap dari mulut seorang anak yang tadi ditenggelamkan oleh ibunya sendiri. Bagi Em, hanya satu emosi ini yang murni dan tidak terkontaminasi. Terbayang-bayang terus adegan ketika Amanda - anak yang dulu ditenggelamkan ibunya sendiri - menarik lembut lengan ibunya, menangis, dan mengatakan, "Aku memaafkan Ibu." Selebihnya, bagi Em, emosi di keluarga itu hanyalah bagai polesan cat di atas kanvas. Ini membuat Em berpikir, apa semua manusia seperti itu? Penuh dengan kepalsuan dan hanya sedikit kemurnian. 

Lalu mereka bertiga bergantian menanggapi cerita Em. Terbang berpindah-pindah dari satu bunga ke bunga lain.

Eindhoven, 4 Juni 2013

Dengan latar belakang kincir angin, mereka bertiga siap mendengarkan cerita kedua, cerita dari Rho. Di sini, pemandangan masih didominasi bunga-bunga. Meski tak seindah Taman Keukenhof, tetap, mereka masih bisa menikmati suasana di sini. Anginnya sejuk, membuat mereka merasa tentram berada di sini. 

Berbeda dengan Em, Rho membawa cerita sains dari kehidupan manusia. Ia bercerita tentang betapa hebatnya manusia dengan segala teknologi digitalnya. Yang terakhir yang sangat menarik minatnya adalah tentang bagaimana suatu teknologi bisa mendeteksi pergerakan bola mata seseorang terhadap suatu objek, mencatat durasinya, dan menemukan polanya. Alat lainnya bisa menentukan tingkat perhatian (attention) seseorang terhadap benda tersebut, mencatat gelombang-gelombang otaknya, dan menjadikan itu semua bermakna bagi dunia lain yaitu dunia marketing. 

Wow, Em dan Al takjub mendengarkan cerita Rho. Walau tanpa alat peraga dan tanpa contoh nyata, Rho berhasil mendeskripsikan dengan sederhana dan jelas kepada kedua temannya itu tentang cara kerja alat-alat tersebut dan aplikasinya dalam kehidupan manusia. Satu-satunya yang tidak dibahas olehnya adalah masalah harga. Heh, tentu saja itu bukan topik yang menarik bagi mereka bertiga. Sejak kapan kepik-kepik tertarik uang? ;) 

Rho sepertinya belum puas membuat temannya terkesima dengan ceritanya, ia menutup gilirannya dengan menceritakan satu teknologi lain yang dia pikir teman-temannya juga perlu tahu, teknologi pendeteksi emosi. "Wow! Selain hebat, ternyata manusia juga benar-benar kejam," begitu ungkap Al. "Manusia menciptakan semua teknologi untuk menelanjangi dirinya sendiri, mengungkap semua aspek kehidupannya, selalu ada alat untuk ini dan itu, hampir tidak ada yang bisa disembunyikan." Al tidak peduli dengan manfaat teknologi-teknologi itu bagi manusia. Heh, benar, dia hanya seekor kepik. Ia hanya berpikir, sepertinya manusia lebih damai ketika jaman Michael Landon di dalam serial "Little House on The Prairie."

Sebagai pecinta sains, sebagai seekor kepik yang skeptis, tentu saja Rho membantah semua ucapan Al. Kemudian ia melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat, hingga timbul pertanyaan di antara mereka, "Apakah dunia kita akan selalu sama seperti ini? Ataukah akan berkembang seperti manusia?" Tiga kepik itu kemudian terbang lagi ke tempat yang lain.

Dam Square, 5 Juni 2013

Di tempat ini banyak kawanan merpati. Muda mudi berpasangan banyak duduk-duduk santai di kawasan ini. Tentu saja, Al memilih tempat ini menyesuaikan dengan topik yang akan diceritakannya, tentang cinta. Sebuah topik klasik yang tidak pernah mati, seberapa pun kita berusaha membunuh topik ini, ia selalu menang dan bisa muncul kembali. Al begitu mengagungkan cinta dan ia berharap menemukan cintanya sebentar lagi.

Meski Al tahu kedua temannya tidak terlalu tertarik dengan topik ini, tapi tetap, Al dengan ceria menceritakan kebahagiaan pasangan-pasangan pengantin yang baru-baru ini ia lihat. Memang, sebelum ke Amsterdam, Al mendatangi beberapa pesta pernikahan manusia. Ia pernah mendatangi pesta pernikahan hewan-hewan peliharaan, tapi tidak semenarik pernikahan manusia, begitu katanya.

Lalu mulailah ia dengan cerita seorang wanita yang baru menikah di usia yang sudah sangat matang dengan seorang pemuda yang usianya terpaut beberapa tahun di bawahnya. Ia kagum dengan wanita ini karena selama ini ia begitu yakin jodohnya akan datang. Bukan hanya kekaguman akan semangat wanita ini saja, Al juga kagum dengan keyakinan wanita ini akan Tuhan. Wanita ini tahu Tuhan menyayanginya dan memberikan hanya yang terbaik baginya.

Merpati-merpati berpasangan membuat iri Al yang terus saja mengalirkan ceritanya tentang pasangan-pasangan manusia yang bercinta. Em dan Rho pun akhirnya terlarut dalam semua cerita cinta Al hingga mereka menangis karena satu tragedi cinta yang Al ceritakan. Kepik pun ternyata bisa menangis, mereka bertiga tidak pernah tahu itu hingga hari ini, hari yang mereka tutup dengan berangkulan. Mereka menutup hari itu dengan hanya hinggap diam di bangku di pinggir jalan memandangi manusia-manusia lalu lalang. Masih ada enam cerita lagi, mereka akan melanjutkannya esok hari.








cuma kangen

Cuma kangen aja sama blog ini. Ga pernah kepikiran bahwa saya bisa bener2 kangen sama benda mati dan benda mati tersebut adalah blog. Yup, saya tahu, yg saya kangenin itu sebenernya nulisnya, bukan media(blog)nya. Ada banyak lintasan pikiran yang pengen saya tuliskan belakangan ini dan lagi-lagi karena alasan ga ada waktu, semua itu hanya menguap dan menguap. Salah satu yg mau saya tulis adalah cerita tentang si kepik, tiga 'kepik' yang saya suka. Entah kapan... ;(