Tuesday, June 26, 2012

Keira - Sebuah Elegi Kehidupan

BAB 1 - KERTAS PUTIH ITU

Matahari tak lagi gagah, menciut ia kini
Langit tak lagi perkasa, runtuh ia kini
Gunung tak lagi percaya diri, menunduk ia kini
Samudera tak lagi terhampar, terbungkus ia kini
Seperti helai daun kering yang lepas dari dahan
Seperti bayi mungil yang menangis kehausan
Seperti butir-butir pasir yang terbawa air
Aku rapuh

--------------------

Detak suara jarum jam jelas sekali terdengar di telingaku. Lima menit lagi menuju pukul dua dini hari dan aku belum terpejam. Kubuka tirai jendela kamar ini. Kamar yang kini sungguh terasa sempit. Tak lagi lapang ketika dulu diisi dua penghuni. Tak lagi terang, tak lagi menyenangkan. Semuanya berubah sejak kepergiannya dua bulan lalu.
Masih berdiri memandang malam. Kulihat langit di luar pekat sangat, hitam, kelam. Suasana ini membuat semuanya semakin terasa mencekam. Sementara itu, bulan, malam ini ia menunjukkan bentuk sabitnya. Hanya menyisakan sedikit cahaya yang juga sudah hampir tertutup oleh arak-arakan awan. Tidak ada bintang, hanya ada selimut kabut menghampar di langit di atas atap rumahku. Semuanya kelabu, kelam, suram, tidak ada yang indah dari malam ini. Aku tidak suka suasana ini.
Dahan-dahan bergerak mengikuti irama kesunyian. Sesekali mereka bersenggolan. Bersentuhan. Berangkulan. Saling berbisik menceritakan apa yang mereka tahu tentang manusia. Aku seperti mendengar suara mereka, dahan-dahan itu membicarakan aku. Ada yang menyindir dan mencibir, ada yang iba, ada juga yang datar-datar saja. Ah, apa aku sudah gila?
Sepertinya angin di luar sana kencang berhembus. Seiring beratnya napas kehidupan yang kuhembuskan, seiring panasnya napas kehidupan yang pelacur-pelacur hembuskan. Seiring debu jalanan yang beterbangan karenanya. Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu, malam memang sering menunjukkan keangkuhannya pada alam. Lalu manusia, kadang menjadi korban keangkuhan itu atau bahkan sebaliknya, sama angkuhnya seperti sang malam.
Keanu sudah terlelap di kamarnya, tenggelam dalam mimpi indah anak-anak, mimpi yang tidak pernah padam ketika ia dewasa nanti. Mimpi-mimpi akan cita-citanya yang mengesankan. Ya, mengesankan karena aku tidak pernah menyangka ia punya mimpi sebesar itu. Pemikiran-pemikirannya jauh ke depan, melampaui batas logika berpikir anak seusianya. Harapan-harapannya, jauh pula melampaui batas keinginan anak-anak seusianya. Ia berbeda. Keanu berbeda dengan anak-anak lainnya. Lebih jauh, ia sangat istimewa di mataku.
Tapi entah malam ini, apakah mimpinya indah seperti kemarin-kemarin ketika Sang Ksatria, ayahnya tercinta masih ada? Apakah mimpinya masih sama? Mimpi akan petualangannya di luar angkasa, mimpi akan penemuan-penemuannya yang sangat bermanfaat bagi dunia. Entahlah, dua bulan ini, Keanu pun seperti malam tak berbintang. Kelam, suram. Wajahnya kerap muram. Bukan lagi Keanu yang penuh semangat dan keceriaan. Bukan lagi Keanu yang selalu optimistis mencapai impiannya. Kepergian ayahnya menghapus semangat dirinya dan menyapu keceriaan dari wajah manisnya. Sedih aku melihatnya.
Masih berdiri menatap malam, sambil kulipat kedua lenganku ke dada. Dari jendela, kuterawang angkasa. Menyusuri jalan-jalan setapaknya. Singgah di setiap bintang yang kulewati. Kutembus segala cahaya, yang mungkin bisa mengembalikan semua yang pernah ada. Cintaku, keceriaan Keanu, kelapangan kamar ini. Semuanya, semua yang pernah ada dua bulan lalu. Namun, cahaya apa pun sepertinya tak mampu mengembalikan semua itu. Bahkan untuk sekadar menunjukkan jalannya, tak ada yang bisa.
Kutarik napas dalam-dalam, kuhembuskan. Berat sekali aku menerima semua ini. Setelah apa yang sudah kulakukan padanya selama ini? Sembilan tahun hidup bersama, mencintai, menjaganya. Lalu, inikah yang kudapat? Apakah benar-benar ini? Sungguh pantaskah aku mendapatkannya? Siapa yang Maha Adil kini? Adakah Tuhan memang sayang padaku? Menimpakan semua dusta kepadaku? Menimpakan semua cela kepadaku? Adakah selama ini Dia bersamaku? Baru kali ini aku menyalahkan Tuhan. Sungguh, aku tak mau.
Dan meneteslah air mataku. Butir demi butir jatuh membasahi pipiku. Semakin kutahan, semakin deras ia mengalir. Air mata ini, aku tidak pernah mengharapkan ia jatuh karena alasan ini. Akan tetapi, harapan memang tidak selalu sesuai kenyataan. Kemudian di sinilah aku, berdiri di dalam kenyataan. Ketiadaan. Kehampaan. Tidak lagi aku berdiri di dalam harapan. Kosong. Aku tidak lagi memiliki harapan. Tidak. Aku hampa. Aku merasa hampa. Aku bahkan hampir tidak mau mengenal lagi sang harapan.
Tak terhitung sudah butir air yang jatuh membanjiri baju tidurku. Sekarang aku duduk, masih dengan segala kesedihan. Kuseka tumpahan air mata ini dengan tanganku. Kutahan suaraku agar tidak membangunkan Keanu, setidaknya kucoba. Aku lelah. Sangat. Bukan karena jutaan waktu yang telah kulalui bersamanya, bersama cintaku. Bukan karena itu, tapi karena apa yang kualami hari ini. Apa yang kulihat hari ini. Apa yang kudengar hari ini.
Kertas itu masih tergeletak di atas meja riasku. Kertas putih dengan angka-angka dan kata-kata yang tidak kumengerti. Kertas yang sungguh bisa membalikkan semuanya, membalikkan duniaku, membalikkan hidupku, mengubah dunia Keanu. Hanya penjelasan dokter itu, dokter Rita, yang membuatku mengerti apa makna semua yang tertulis di situ. Hanya itu.
Suara dokter Rita masih terngiang-ngiang di telingaku. Kata demi kata masih kuingat. Masih tergambar jelas ekspresi datar nan profesionalnya di benakku. Dia berusaha menjelaskan dengan tegar, tanpa tercampur rasa iba atau seribu tanya. Jujurkah dokter Rita padaku? Apa yang dijelaskannya padaku, benarkah semua itu? Dapatkah kupercaya ia? Tertukarkah kertas itu dengan pasien yang lain? Angka-angka itu, mungkinkah itu semua milik orang lain? Bukan aku.
Mungkinkah ada kesalahan yang bisa membalikkan keadaan ini? Mengembalikan lagi semua seperti sedia kala? Berharap aku tidak pernah melihat kertas itu. Berharap aku tidak pernah membaca angka-angka dan kata-kata dalam kertas itu. Berharap aku tidak pernah mendengarkan penjelasan dokter Rita mengenai hal ini. Berharap seperti itu. Akan tetapi, berharap kadang menyakitkan. Jadi, kali ini aku tidak mau berharap. Ah tidak, aku tidak mau terlalu berharap. Supaya jika memang harapanku tidak menjadi kenyataan, aku tidak terlalu merasa sakit. Tidak, tidak sekali lagi untuk rasa sakit. Cukup dua hal ini saja yang menyakitkanku, kematiannya dan kertas putih itu.
Aku beranjak mendekati meja riasku. Kini, aku duduk bercermin di sini. Menatap wajahku. Tidak seperti biasanya, kulihat wajah yang menyedihkan di situ. Masih menangis aku, meratapi kemalanganku yang tak terkira. Dengan apa yang terjadi, aku merasa akulah orang paling menyedihkan. Demikian sedihnya hingga cermin ini pun menangis. Menangisi aku yang sedang menangis. Tidak pernah ia menatapku seperti itu, menyedihkan. Bahkan cermin pun mengasihani diriku, “Kasihan sekali kau, Keira.”
Kuambil kertas putih itu. Sekali lagi kulihat nama yang tertera di bagian atasnya. Tidak ada yang salah. KEIRA ADAM. Kuperhatikan angka-angkanya. Semakin menjadi tangisku. Hampir pukul setengah empat dini hari. Dan aku masih terjaga. Dalam kegalauan, aku bertanya.

“Gerangan apa yang terjadi, duhai Malam? Tidak cukupkah Kau ambil dia yang selalu kupuja? Dia yang selalu kucintai. Dia yang selalu kuhormati? Dia yang selalu kubanggakan? Pilu karena kehilangannya belum juga hilang dan tidak akan pernah hilang hingga aku terbiasa menjalani kesendirian ini, kesendirian tanpa cinta darinya, kekasihku.

Misteri apa lagi yang hendak kau tunjukkan padaku, Malam? Tidak cukupkah ini? Aku masih terlalu muda untuk ditinggal mati oleh cintaku. Aku belum sekuat itu. Aku masih membutuhkannya di sisiku. Kadang aku berpikir kau jahat, Malam! Mengambilnya ketika ia terlelap di pelukanku. Mengambilnya ketika baru jutaan waktu yang kami lalui? Bukan milyaran tahun. Sungguh tega kau, Malam! Mengapa tidak serta-merta saja kau ambil aku bersamanya? Tidak dengan cara seperti ini seharusnya!

Aku marah padamu, Malam! Teganya kau menjatuhkan ini semua padaku. Belum sembuh luka yang satu, kau torehkan lagi luka yang lain.  Bisa kau jelaskan semua ini padaku, Malam? Tolonglah. Aku tidak sekuat yang kau kira. Aku tidak sebijak yang kau kenal. Aku tidak memiliki semuanya. Aku kecil, Malam. Aku rapuh. Tolonglah aku.”

***

Segera terbit, "Keira - Sebuah Elegi Kehidupan." Boleh pesan dari sekarang, via email ke rifka.nida@gmail.com.

Monday, June 18, 2012

Raisha dan Pialanya

....dan dia pun lulus kelas PAUDnya. 

Raisha masih pegang Juara I di kelasnya, alhamdulillah. Ini dia fotonya
Di acara pelepasan siswa TK B Sabtu kemarin, Raisha juga nari. Nari apa? Potong bebek angsa. 


Haha...lucu banget liat anak-anak kecil nari dan saya kagum banget sama guru-gurunya yang super sabar ngajarin dan ngebimbing mereka. 

Bulan depan Raisha naik kelas TK A. "Sukses ya, Kak!"